Seorang mahasiswa Universitas Riau atau UNRI berinisial I harus menahan sakit ditubuhnya. Pasalnya, seekor monyet tiba-tiba datang menyerang. Darah pada tangannya mengalir sore itu. Ia meringis kesakitan.
Mulanya, ia bersama enam orang temannya yang lain tengah bersantai. Sembari menyantap makanan di Arboretum Universitas Riau atau UNRI pada 13 September lalu.
Ketika ia membuang sampah makanan ke keranjang sampah terdekat, saat itulah muncul seekor monyet. Melihat itu, ia beserta rombongan ingin segera keluar dari arboretum.
Sayang, pintu keluar sudah dikerumuni monyet dengan jumlah sekitar 15 sampai 20 ekor. Alhasil, monyet tersebut menyerangnya dua kali. I sempat melakukan perlawanan, tapi tetap saja ia menerima luka cakaran dibagian belakang tubuhnya.
I pun akhirnya mendapatkan penanganan di Rumah Sakit Pendidikan UNRI. Ia menerima jahitan dan vaksin rabies.
Sehari sebelumnya, korban yang terkena cakaran monyet adalah Tito –bukan nama sebenarnya-. Ia sedang menyelesaikan laporan Kuliah Kerja Nyata di jembatan kupu-kupu UNRI. Tak lama, seekor monyet datang dari arah belakang dan langsung menyerangnya.
Naas, cakaran monyet mencapai ototnya hingga harus dilakukan operasi bedah. Total ada lima jahitan dibagian otot serta empat atau lima jahitan di luar yang harus Tito terima. Ia juga mendapatkan vaksin rabies.
Selain RSP UNRI, para korban lainnya juga dilarikan ke Puskesmas Simpang Baru. Kasus ini sempat ramai diperbincangkan pada pertengahan September lalu. Sebab tak biasanya satwa liar penghuni hutan UNRI ini, mengusik warga Kampus Biru Langit.
Tak hanya mahasiswa, bangunan di UNRI juga jadi sasaran binatang ini. Staf umum perpustakaan UNRI sebutkan kalau kerumunan monyet beberapa kali datang ke perpustakaan.
“Monyet banyak bertebaran dari atap perpustakaan, ada juga yang terkurung, waktu itu hampir 10 ekor, sekitar dua bulan yang lalu,” ungkapnya.
Auzhar sampaikan terdapat dua monyet yang masuk ke area perpustakaan. Walaupun, kata Auzhar, tidak ada kerusakan yang timbul. Namun, hal ini cukup mengganggu. Untuk alasannya, ia katakan bahwa monyet tersebut masuk area kampus karena kebanyakan hutan ditebang serta faktor kebakaran.
Diketahui, UNRI terima duit sekitar Rp 800 miliar dari Asian Development Bank. Uang itu akan dipakai buat bangun sepuluh gedung baru serta biayai penelitian dosen dan mahasiswa. Saat ini, sudah beberapa titik di UNRI yang sudah ditebang pohonnya dan masuk tahap pembangunan.
Baca disini: Megaproyek di Binawidya
“Semak ditebang, yang dimakannya tidak ada,” tutupnya.
Menindaklanjuti kasus tersebut, kru Bahana temui Epidemiologi Kesehatan Puskesmas Simpang Baru Nofri Yeti untuk dimintai keterangan. Nofri sampaikan bahwa terhitung per-September, pihak Puskesmas sudah menangani pasien dengan gigitan monyet sebanyak empat orang.
“Kami dapat informasi dalam satu bulan ini ada empat orang di Puskesmas Simpang Baru, ada dua orang yang tidak kami tangani karena obatnya tidak ada. Yang satu kalau tidak salah, dia operasi di Arifin Ahmad,” ujarnya pada Sabtu (1/10).
Nofri pun sampaikan bahwa mereka telah kirimkan surat pada pihak Rektorat UNRI pada Senin (26/9). Hal ini ditujukan agar pihak Puskesmas mendapatkan izin untuk melakukan survei lebih lanjut terkait permasalahan gigitan monyet ini.
“Kejadiannya kan di kampus, tidak pula satu. Kami melakukan epidemiologi tergantung seberapa besar kejadiannya. Jadi, karena kami masuk ke ranah instansi lain, kami mengirim surat,” pungkasnya.
Nofri turut jelaskan apabila monyet yang menggigit itu positif rabies, maka akan terdapat peluang penyebaran rabies kepada korban. Namun, untuk mengetahui apakah monyet tersebut terjangkit rabies atau tidak, harus memerlukan pengawasan. Salah satu caranya adalah melihat apakah monyet yang menggigit tersebut bertahan hidup dalam jangka waktu dua minggu atau tidak.
“Masalahnya sekarang monyet ini liar. Kita tidak tahu dia hidup atau tidak, dan tidak tahu monyet mana yang menggigit,” ungkapnya.
Lanjutnya, tingkatan rabies tersebut juga akan berbeda–beda. Pula dengan gejalanya yang tidak akan timbul secara langsung. Alasannya karena terdapat masa inkubasi yang bisa saja memakan waktu berbulan–bulan.
Nofri turut sampaikan bahwa pasien positif rabies dapat menularkannya kepada orang lain. Hal ini terjadi ketika seseorang yang memiliki luka terbuka terkena air ludah dari pasien yang positif rabies tersebut.
“Mungkin monyet merasa terganggu, karena selama pandemi sudah tidak ada mahasiswa, lalu sekarang ada, mereka merasa tidak nyaman,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nofri tuturkan pihak puskesmas saat ini akan mengumpulkan data. Mereka ingin mengetahui seberapa banyak korban dan dimana saja titik rawannya.
“Mungkin di titik rawan itu bisa kita lakukan pencegahan, baik dengan rambu–rambu, maupun pengawasan,” jelasnya. Dengan kata lain, perlu tindak lanjut yang tidak hanya melibatkan instansi kesehatan tetapi juga pihak rektorat.
Sedangkan dari pihak UNRI sendiri, Kepala Sub Bagian Rumah Tangga UNRI, Habib mengatakan bahwa sejauh ini, tidak ada penanganan secara khusus kepada hewan primata tersebut. Sebab, keberadaan monyet sudah ada sebelum kawasan kampus berkembang. Lanjutnya, pengembangan pemukiman juga menjadi faktor mengapa para monyet banyak bermigrasi ke wilayah UNRI.
Ia tegaskan bahwa penanganan hanya bersifat peringatan keras. Walaupun bisa saja primata yang bersifat hama ini ditembak mati. Namun ia menimbang bahwa sebagai makhluk hidup berakhlak, tidak akan melakukan hal setega itu.
Solusi lain adalah membuat perangkap. Tentu harus mempersiapkan pendanaan, tim khusus, serta penempatan wilayah baru untuk para monyet. Itupun belum tentu mereka akan dapat menerima dan menyesuaikan diri di sana.
“Pengunjung rata-rata orang berpendidikan, tinggal personal masing-masing yang menyadari diri sendiri. Menjauh atau mendekati dengan keberanian,” jelasnya.
Penulis : Fitri Pilami, Hafifah Antini, Marchel Angelina, Zacky Desrian Alvis
Editor : Karunia Putri