Universitas Riau (Unri) melakukan pemberhentian besar-besaran terhadap tenaga honorer di lingkungan kampus. Keputusan ini merujuk pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN yang mengamanatkan penyelesaian status pegawai non-ASN paling lambat Desember 2024. Namun, di balik kebijakan ini muncul berbagai pertanyaan dan keluhan dari para pegawai yang terdampak.
Ketua Umum Biro dan Keuangan Unri Evi Nadhifah menegaskan bahwa keputusan ini bukanlah bagian dari efisiensi anggaran. Melainkan bentuk kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. “Ini bukan bagian dari efisiensi anggaran,” ujar Evi, Minggu (23/02).
Sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) No. B/5993/M.SM.01.00/2024, pegawai non-ASN masih dapat menerima gaji jika sedang mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3k) hingga diangkat menjadi ASN. Namun, bagi pegawai yang tidak mengikuti seleksi maka tidak ada pengangkatan kembali sebagai pegawai honorer.
“Kami mengikuti amanat Pasal 66 UU ASN, dimana pegawai honorer yang memenuhi syarat diproses menjadi P3K,” ujar Evi. Dia menyayangkan tenaga honorer yang tidak memenuhi syarat.
Hal ini karena beberapa faktor seperti masa kerja kurang dari dua tahun, usia melebihi 56 tahun, atau kualifikasi pendidikan yang tidak sesuai. Sebagai langkah mitigasi, Unri melakukan pemetaan ulang sumber daya manusia agar layanan akademik tetap berjalan optimal.
“Sejak Januari 2025, instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN atau nama lainnya selain ASN. Oleh karena itu, kami harus menyesuaikan tenaga kerja yang ada,” lanjutnya.
Keputusan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk dari pegawai yang terdampak langsung. Mantan Dosen Honorer Zainul Akmal mempertanyakan dasar kebijakan tersebut. Dia menegaskan tidak ada undang-undang yang secara eksplisit mengatur pemberhentian tenaga honorer, melainkan hanya pengangkatan mereka menjadi ASN.
“Saya tidak memiliki kesempatan untuk mendaftar seleksi P3K karena tidak terdata di Badan Kepegawaian Negara (BKN),” jelas Zainul, Jumat (21/02). Padahal, pihak kementerian sudah memberikan kemudahan bagi tenaga honorer yang telah masuk dalam database BKN untuk mengikuti seleksi.
Zainul juga menyoroti bahwa Unri terkesan lepas tangan alias tidak bertanggung jawab dalam kebijakan ini. Dia mempertanyakan tenaga honorer di lingkungan Unri yang tidak masuk dalam data BKN. Serta perihal pengajuan nama tenaga honorer untuk mengikuti seleksi P3K.
“Jika ada, minta buktinya. Kalau tidak ada, berarti memang tidak ada upaya dari Unri untuk mengakomodasi kami,” tegasnya. Dampak kebijakan ini sangat dirasakan oleh pegawai honorer yang telah kehilangan pekerjaan.
Salah satu Staf Honorer Non-dosen Budi, bukan nama yang sebenarnya, mengungkapkan keterkejutannya atas keputusan ini. “Saya tidak memiliki persiapan untuk mencari pekerjaan lain. Pemberhentian ini sangat mendadak,” ungkapnya, Sabtu (22/02).
Budi juga mengungkapkan dugaan ketidakadilan dalam proses pengangkatan P3K. Menurutnya, beberapa tenaga honorer di fakultas lain tidak diberhentikan karena tidak mengikuti seleksi CPNS.
“Kami menduga ada faktor kedekatan dengan pimpinan yang membuat mereka mendapatkan informasi lebih awal. Seharusnya, informasi ini diberikan secara merata,” tambahnya. Informasi yang dimaksud adalah anjuran untuk pegawai honorer hanya mengikuti tes P3k, bukan CPNS.
Selain itu, dia juga mengeluhkan beban kerja di Fakultas Kedokteran yang jauh lebih tinggi dibandingkan fakultas lain. Budi dan rekan sesama pegawai honorer menjadi korban kebijakan ini. Bahkan, dalam setahun terakhir, BPJS Ketenagakerjaan mereka dicabut tanpa alasan yang jelas.
“Saya kini mengandalkan penghasilan alternatif dan mencoba mendaftar beasiswa S2,” ungkapnya.
Dengan adanya pemberhentian ini, masa depan tenaga honorer di Unri masih menjadi tanda tanya besar. Hingga saat ini, tidak ada solusi konkret dari pihak kampus untuk membantu pegawai yang terdampak. “Selain mengikuti prosedur seleksi P3K yang dianggap tidak inklusif,” tutup Budi.
Menurut Zainul Akmal, Unri perlu berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta instansi terkait untuk memastikan tenaga honorer yang memenuhi syarat dapat diprioritaskan dalam seleksi ASN. Tanpa adanya kebijakan transisi yang lebih adil, gelombang protes dari tenaga honorer yang kehilangan pekerjaan berpotensi terus berlanjut.
Penulis: Melvina Yunisca
Editor: Fitriana Anggraini