Realita Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Riau

INDONESIA dikenal memiliki kekayaan dan keberagaman budaya. Terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, cara berpakaian, dan kebiasaan. Karena itu, upaya meniadakan keberagaman maupun penyeragaman melalui Rancangan Undang-undang apa saja merupakan teror baru di era ini.

Propinsi Riau terdiri dari beragam suku bangsa. Melayu, Jawa, Minangkabau, Tionghoa, Banjar, Mandailing, Batak, Bugis, Aceh, Sunda, dan Flores. Melayu merupakan suku mayoritas. Suku Jawa dan Sunda banyak di kawasan transmigran. Etnis Minangkabau dan Tionghoa menjadi pedagang. Minangkabau banyak bermukim di Pekanbaru, Dumai, Kampar, Kuantan Singingi (Kuansing), dan Rokan Hulu (Rohul). Sementara Etnis Tionghoa banyak berada di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis.

Suku Banjar dan Bugis terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), terutama di Tembilahan. Selain itu di Riau masih terdapat sekumpulan masyarakat asli di kawasan pedalaman dan bantaran sungai, seperti Sakai, Akit, Talang Mamak, dan Suku Laut.

Penduduk di Propinsi Riau amat majemuk, ini aset bagi Riau sendiri. Agama yang dianut penduduk Riau sangat beragam. Mengacu data Departemen Agama Kantor Wilayah Riau pada 2010, agama Islam dianut 4.907.218 jiwa, Kristen Protestan 313.660 jiwa, Kristen Katolik 125.561 jiwa, Hindu 21.837 jiwa, Buddha 150.759 jiwa, Konghucu 725 jiwa dan aliran kepercayaan lainnya 434 jiwa. Terdapat 11.481 rumah ibadah muslim di Riau, 1.194 rumah ibadah Kristen Protestan dan 246 rumah ibadah Katolik. Hindu ada 8 buah sedangkan Budha sekitar 340 rumah ibadah.

 

Situasi di Riau

HASIL wawancara Setara Institute tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Riau pada 2011 menyimpulkan toleransi beragama masih berjalan baik di Riau. Penghargaan terhadap perbedaan suku/ras masih ada.

Jika melihat kembali ke belakang, memang ada beberapa konflik terkait suku dan agama yang pernah terjadi di Riau. Tahun 2004, pasca reformasi, terjadi konflik di kota Batam antara Suku Minang dan Suku Batak, saat itu Batam masih masuk ke dalam Propinsi Riau. Hal sama juga terjadi di kota Bagan Siapiapi Kabupaen Rokan Hilir.

Ditilik dari Peraturan Daerah (Perda), di Riau masih banyak pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya Perda Kabupaten Kampar tentang Kewajiban Berjilbab, Surat Keputusan Bupati Tembilahan tentang larangan keluar malam laki-laki dan perempuan, Perda di Rohul tentang kewajiban membaca Alquran bagi calon kepala daerah dan Perda di Dumai tentang kewajiban pandai membaca Alquran bagi calon walikota. Ada pula anjuran memakai baju kurung tertentu pada hari tertentu bagi pegawai maupun anak sekolah.

Hasil pantauan terhadap situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di tahun 2011 membuktikan, konflik yang terjadi bila dibiarkan dapat menjadi sumber perpecahan di Riau.

Contoh kasus pembakaran/pengrusakan tempat ibadah. Pembakaran Gereja Katolik akibat bentrokan warga Kuansing pada 11 April 2011, pembakaran gereja GBKP, GMI dan GPDI oleh seratusan orang tak dikenal pada awal Agustus 2011.

Ada juga kasus pelarangan ibadah didasarkan Surat Walikota Pekanbaru tanggal 12 Oktober 2010 dan 16 November 2010 perihal penghentian kegiatan jemaat Ahmadiyah. Sebanyak 30 ormas Islam di Riau, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan Front Pembela Islam Propinsi Riau mendesak Gubernur Riau Rusli Zainal bersikap tegas terhadap jemaat Ahmadiyah.

Pada 19 April 2011 sekitar pukul 10.00, FPI berorasi dan memasang spanduk pembubaran Ahmadiyah di gedung tempat ibadah Ahmadiyah, menyegel pintu rumah ibadah dengan spanduk, disaksikan aparat pemerintah dan pihak keamanan. Pelarangan ibadah minggu juga dialami Jemaat Gereja HKBP Tampan Resort HKBP Hangtuah Pekanbaru hingga 13 November 2011.

Ilustrasi: Hidayat Sulaiman
Ilustrasi: Hidayat Sulaiman

Contoh kasus intoleransi, yakni SMP dan SMA di Bangkinang Kampar menerapkan setiap siswa non muslim wajib mengenakan jilbab.

Secara umum, penyebab munculnya konflik karena kebijakan pemerintah yang tak memihak masyarakat menengah ke bawah. Perbedaan pendapat dan rasa tidak puas mendorong protes sosial yang berlanjut pada kerusuhan. Ditambah pula bumbu-bumbu agama dalam melegalkan aksi tersebut.

Karena itu perlu peninjauan ulang terkait aturan yang ada. Aturan tersebut harus berdasarkan pada ruh Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Jika ruh ini tak ada, maka aturan tersebut bisa menimbulkan perpecahan, kekerasan dan rasa tak peduli sesama.

 

Upaya Pencegahan

PENCEGAHAN konflik antar umat beragama bisa dilakukan dengan berbagai cara. Meningkatkan taraf hidup masyarakat dibarengi perbaikan kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan agama (bukan ajaran/doktrin agama) kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tahu pasti bagaimana tata cara pendirian rumah ibadah, penyiaran agama, penerimaan bantuan luar negeri untuk kepentingan agama dan sebagainya.

Menguatkan kesadaran masyarakat untuk saling memahami dan menghormati posisi masing-masing, lebih mengedepankan persamaan daripada mempertajam perbedaan.

Memberdayakan institusi keagamaan untuk mempererat kerukunan umat beragama, memudahkan kegiatan beribadah para penganut agama, tidak mencampuri urusan akidah suatu agama serta melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan.

Mengembangkan wawasan multi kultural bagi segenap lapisan masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset aksi. Mendorong terciptanya dialog antar pimpinan majelis dan organisasi agama dalam rangka membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama.

Fungsionalisasi pranata lokal yang mendukung upaya kerukunan umat beragama. Terakhir, melakukan penegakan hukum (law enforcement) terhadap oknum yang melanggar peraturan maupun yang terlibat kerusuhan sosial atau konflik antar umat beragama. #