Gagasan ideal adalah inti kegiatan suatu universitas. Setidaknya empat upaya kegiatan pendidikan tinggi yang ideal, yaitu penelitian, pembelajaran, serta pelayanan ilmiah dan teknologi dengan produksi—penerapan kedua terdahulu dalam rangka majukan kesejahteraan masyarakat. Itu adalah kegiatan tradisional perguruan tinggi yang dipandang akademis sampai pertengahan abad 20. Belakangan hal ideal itu dikembangkan dengan kegiatan produksi dan keusahawanan. Pada hakikatnya merupakan hal yang berkaitan dengan ekonomi riil. Kegiatan universitas bergeser dari keadaan yang berputar sekitar idea memasuki kenyataan yang nyata.

Gagasan ideal yang muncul  menjelang akhir abad lalu didorong banyak hal. Di antaranya, Margareth Thatcher, mula-mula mempersoalkan kedudukan pendidikan tinggi. Khususnya peranan universitas dalam negara atau wilayah. Pertama, Thatcher tanyakan peran universitas umumnya akademis khususnya dalam negara. Teristimewa tentang peran ekonomi atau kesejahteraannya. Kedua, dimintanya suatu lembaga kajian independen tentang dampak langsung universitas pada pertumbuhan ekonomi Inggris. Ketiga, diputuskannya penghapuan subsidi kepada universitas. Terakhir universitas dibantu selaras dengan sumbangan langsung kepada kemajuan dan pertumbuhan ekonomi dan biaya buat kembangkan disiplin perlu majukan budaya dan peradaban yang terabaikan.   

Masa pemerintahan mulai dirasakan universitas, jadi beban umum dari pada mengangkat masyarakat ke taraf kehidupan lebih bermutu. Sekitar 90 persen biaya universitas ditanggung negara dan sisa dana yang dipungut  dari masyarakat berupa uang kuliah. Hanya sedikit saja yang berupa pengembalian dari hasil penelitian atau kajian. Pembelajaran yang keluar dari universitas berupa tamatan dan lulusan yang justru akibatkan bengkaknya pengangguran. Itu terjadi karena tidak selarasnya pembelajaran dan pelatihan dengan kebutuhan perusahaan dan industri yang memerlukan tenaga kerja. 

Dari penelitiannya, hampir tidak ada fungsi majukan kesejahteraan dan peradaban, ekonomi maupun sosial budaya masyarakat. Hampir tidak ada nilai dan tidak mudah menerapkannya, baik oleh civitas akademika sendiri. Apalagi diserap dan dipakai masayarakat. Tambahan juga, hasil penelitian tidak akan mudah tersedia bagi masyarakat. akibatnya, penelitian hampir tiada gunanya. Bahkan juga menjadi beban ekonomi bagi mahasiswa atau masyarakat dan negara.

Pelayanan umum atau pengabdian masyarakat yang dilakukan dosen atau mahasiswa bukanlah hasil khusus kajian atau penelitian yang bertujuan memecahkan masalah masyarakat. Misalnya,  kuliah kerja nyata. Tidak ada hasil penelitian yang dijadikan sumber pelayanan maupun penyuluhan oleh para civitas akademika universitas. Menurut ungkapan tokoh Melayu di Riau, istilah yang digunakan dosen sekedar penyalur hasil penelitian dari negara maju atau universitas yang memang sudah mengarahkan penelitian untuk melayani atau diterapkan di masyarakat.  Alih-alih penelitian yang terjadi, sekarang lebih kepada upaya hasilkan paten dan hak kekayaan intelektual. Maka makna universitas bagi masyarakat menjadi terbengkalai dan dicuaikan.

Temuan Perdana Menteri Inggris Thatcher dan kebijakannya buat galau universitas pada awalnya. Namun, tidak sampai lima tahun ternyata banyak universitas yang mampu mengurangi ketergantungan pada subsidi pemerintah sekitar 50 persen. Bahkan lima universitas terbesarnya mampu mandiri dengan subsidi hanya sekitar 10 persen saja. Kinerja  menjalankan fungsi universitas meningkat hingga biaya bias diatasi, tapi kedudukannya pada peringkat universitas kelas dunia terkandung dalam 20 besar. Ternyata universitas di Inggris kompeten dan berhasil dengan adanya kebijakan serta tindakan pemerintah yang kritis pada universitasnya.    

Penghujung 1994, di Indonesia keadaan universitas masih memprihatinkan. Gagasan universitas penelitian ditertawakan oleh para dosen ‘jumud’ maupun alumni. Mereka merasa nyaman dalam kotaknya, tapi tidak punya alternatif. Padahal arus panas ‘el nino’ gebrakan Thatcher landa lautan universitas dunia. Gagasan idealnya tentang  suatu universitas dicemoohkan karena menentang perubahan.

Akibatnya, keadaan bebani banyak negara dan kelompok cendekiawan muncul hujat universitas. Sebagai suatu lembaga fungsi tradisionalnya memajukan budaya, peradaban dan kesejahteraan tuntutan bukti luaran (output) dan hasil (outcome) suatu universitas sedang dipertanyakan. Seiring ditanyakan manfaatnya bagi masyarakat pada perusahan dan industri, ditanggapi dengan kegiatan pengembangan masyarakat— Community Development (CD) dan gagasan tanggungjawab sosial masyarakat –Corporate Social Responsibility (CSR). Arah tujuan kegiatan perusahaan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Atas dasar demikian  berkembang tuntutan pada universitas. Tiga fungsi dasar yang semula, pengajaran, penelitian dan pengabdian, menjelang akhir millennium kedua ditambah dengan produksi dan keusahawanan. Dua kegiatan terakhir itu becorak akademis, bersifat inventif dan inovatif, serta tampil atasi pengangguran. Universitas tidak lagi diinginkan sekedar luluskan banyak sarjana, tetapi menambah pengangguran di masyarakat. Akan tetapi diharapkan pula, gagasan dan tindakan ideal mengatasi pengangguran yang dihasilkan. Oleh lembaga yang bekenaan disambut dengan upaya produksi barang dan jasa.

Wujud di negara maju, karya penelitian lalu dikomersialkan. Jasa pelatihan untuk majukan kepemimpinan, keusahawanan dan eksekutif juga dikembangkan. Bahkan, para civitas akademi ‘disewakan’ dalam masa tertentu. Jadi universitas langsung masuk dalam kegiatan nyata tumbuhkan ekonomi dan serapkan tenaga kerja lulusannya. Ada yang dijadikan produksi berupa teknologi oleh alumni seperti beberapa multimedia. Bahkan dosen dan profesor seperti Hawlet-Packard atau mahasiswa yang putus kuliah, teknologi informasi termasyhur Bill Gate—orang terkaya didunia.

Berkembang juga ‘keharusan’ baru. Universitas perlu tawarkan gagasan yang bawa dampak. Universitas harus bertujuan jadi suatu lembaga yang punya kuasa selenggarakan transformasi dan menciptakan gagasan, terutama bagi masyarakat dan negara. Bahkan tuntutan meningkat, ikut serta lahirkan gagasan global yang mempunyai dampak besar. Universitas juga harus mencermati perkembangan akademis mengenai gagasan dan pemikiran di negara lain di samping mengembangkan gagasan dan pemikiran sendiri. Civitas akademikanya, perlu sering memandang ke luar (outward looking).  Pada saat yang sama universitas tak boleh tinggalkan kewajibannya siapkan mahasiswa yang diluluskan agar punya keterampilan yang diperlukan pada pekerjaan yang diinginkan.

Pemandangan suatu universitas dalam masyarakat modern sedang berubah. Sasaran suatu universitas menghadapi tantangan masyarakat paska-matereialis yang sedang dewasa, perubahan permainan teknologi dan pergeseran besar keberadaan universitas. Dengan demikian civitas akademika berubah besar, fungsinya juga bergeser pada penekanan dan jumlahnya. Universitas hanya akan berfungsi setara dengan tuntutan zaman dan selaras dengan tantangan yang dihadapi, manakala kepemimpinannya juga berubah tanggap.

Pada tataran kepemimpinan universitas di negara kita, dewasa ini bermunculan kejadian korupsi. Di antara para akademisi yang koruptor itu, sebagian sudah putus masuk penjara dan lainnya menunggu giliran keputusan. Secara luas definisi korupsi adalah juga sebarang kejadian, tindakan, dan gagasan yang menyimpang dari hal-hal yang ideal. Hal-hal yang ideal, sebagaimana halnya gagasan adalah kegiatan inti universitas. Kegiatan yang benar, betul, baik dan bagus dalam menyelenggarakan fungsi universitas. Maka manakala hal yang ideal dan gagasan yang dilahirkan tidak lagi terlihat, universitas sesungguhnya dalam masalah— korupsi terhadap universitas yang ideal.

Semoga dalam perubahan kepemimpinan universitas di daerah Riau, dalam waktu dekat ini terpilih Rektor yang memahami kegiatan inti universitas. Dan ia mampu memimpin dan membawa civitas akademi yang idealis, mewujudkan ‘academia’ yang ideal itu.#

* Penulis, Prof. Dr. Muchtar Ahmad MSc  Mantan Rektor Universitas Riau