Baru-baru ini UR disibukkan dengan penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang merupakan amanah langsung dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 55 Tahun 2013. Secara rinci dijelaskan oleh Mendikbud Mohammad Nuh, Permen ini dikeluarkan bertujuan untuk meringankan beban mahasiswa terhadap biaya pendidikan yang selama ini kerap besar pada pungutan awal. Sehingga pada akhirnya masyarakat dapat menikmati pendidikan lebih murah sesuai dengan kemampuannya tanpa harus memikirkan pungutan yang selalu besar saat diawal perkuliahan.
UR selaku Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berada langsung di lingkungan Kemendikbud telah berusaha untuk konsen dalam menjalankan amanah konstitusi ini. Namun yang terjadi di lapangan, banyak pihak terutama dari mahasiswa yang menolak secara tegas kebijakan ini. Muncul berbagai tindak penolakan, diantaranya bertebaran spanduk, baliho, selebaran bahkan aksi langsung penolakan UKT di masing-masing Fakultas bahkan di Rektorat yang merupakan tempat pengambil keputusan tertinggi di Universitas.
Jika ditelaah lebih dalam tentang permendikbud ini, UKT sebenarnya adalah upaya pemerintah yang baik dalam hal memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan tinggi. Pada Pasal 1 Permendikbud No. 55 Tahun 2013, disebutkan bahwa UKT merupakan biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Sayangnya, hal senada tidak terjadi di UR. Banyak mahasiswa yang mendapat nominal UKT tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarganya. Cita-cita UR sendiri adalah menjadi pusat Universitas Riset pada tahun 2020. Lalu, bagaimana ketidaksesuain ini bisa terjadi? apakah penetapan nilai UKT tidak dilakukan sesuai Riset ?
UR Belum Terlalu Siap
Menurut Clifford Woody riset yang dalam bahasa sederhananya disebut penelitian adalah suatu pencarian yang dilaksankan dengan teliti untuk memperoleh kenyataan-kenyataan atau fakta atau hukum-hukum baru. Lanjut menurut True (1907) bahwa riset adalah usaha-usaha ilmiah untuk mencari jawaban-jawaban masalah tertentu. Artinya, riset dilakukan untuk mengetahui fakta atau kejadian yang sebenarnya tejadi dilapangan. Dalam salah satu teknik dalam pengambilan keputusan, riset dijadikan pedoman awal sebagai materi untuk menciptakan kebijakan yang dapat selaras dengan kejadian sebenarnya, tujuannya meminimalisir resistensi dari objek kebijakan.
Mengenai UKT, Pemerintah telah menetapkan secara keseluruhan di seluruh PTN  untuk golongan 1 dan golongan 2 dikenai nominal sebesar Rp.500.000,- dan Rp.1.000.000,- dengan persentasi minimal masing-masing 5%. Saya rasa UR sudah cukup konsen dalam menetapkan hal ini. Salah satu contoh di FISIP, jumlah mahasiswa baru angkatan 2013 FISIP berdasarkan data dari bidang akademik FISIP sebesar 1.482 orang, jika di ambil persentasi sebanyak 5% maka sudah seharusnya untuk golongan 1 dan 2 minimal diperoleh oleh 74 orang. Hal ini sudah sangat sesuai dengan penetapan UKT FISIP yang diumumkan lewat website UR yang menetapkan untuk golongan 1 FISIP sebesar 79 orang dan golongan 2 sebesar 74 orang.
Namun cukup disayangkan. Analisa ilmiah sebagai langkah awal riset yang dilakukan sangat tepat secara kuantitas namun tidak secara kualitas. Artinya masih banyak mahasiswa yang tidak memperoleh nominal UKT sesuai ekonomi keluarga. Banyak mahasiswa yang secara ekonomi berhak mendapatkan posisi pada golongan 1 ataupun 2 tapi mendapatkan golongan tinggi seperti 4 bahkan 5, dan lebih disayangkan lagi hal ini berlaku terbalik, dimana mahasiswa yang secara ekonomi mampu, tapi mendapatkan golongan 1 ataupun 2. Kenyataan ini membuat salah satu mahasiswa di jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP 2013 ingin berhenti melanjutkan studinya. Hal ini didorong karena penetapan UKT untuk dirinya tidak sesuai dengan ekonomi keluarga. Orang tuanya hanya bekerja serabutan dan menyadap karet sedangkan UKT yang harus dia tanggung adalah pada golongan tertinggi, yaitu 5 sebesar Rp. 2.500.000,-/semester.
Menggapai Kembali Dari Dalam
Kenyataan yang saya sampaikan masih sebagian kecil dari apa yang sebenarnya terjadi. Jika mendengar kembali desah-desah dari mahasiswa ternyata jumlah kejadian ini tidaklah sedikit. Banyak mahasiswa dari keluarga tani, atau notabenenya kurang mampu mendapatkan golongan yang besar. Jumlah inipun bervariasi, di FAPERTA golongan 5 mencapai Rp. 4.500.000,-, sedangkan di FMIPA sebesar Rp. 4.700.000,-. Jumlah ini bukan jumlah yang sedikit jika dikenai pada mahasiswa dari kalangan kurang mampu. Akibatnya, banyak mahasiswa di Fakultas tersebut memutuskan untuk berhenti kuliah. Sekali lagi ini sebenarnya bukan masalah dari UKT yang ditetapakan Pemerintah, tapi hanya karena nominal UKT yang ditetapkan UR tidak sesuai dengan keadaan ekonomi mahasiswa.
Saat ini UR telah menetapkan secara umum mahasiswa penerima UKT, namun yang disayangkan ialah tidak tepat sasaran. Menurut saya hal ini dilatar belakangi penetapan UKT tidak secara riset ilmiah. Kenyataan ini semakin menggambarkan bahwa UR belum terlalu serius mencapai visi besar universitas, yaitu menjadi universitas riset. Bayangkan saja, hal kecil dalam penetapan UKT yang hanya dikalangan universitas tidak dilakukan secara riset yang tepat, bagaimana kita mampu menjadi pusat riset, sedangkan masalah kesesuaian antara keadaan mahasiswa dengan nominal UKT yang hanya dapat diketahui secara tepat  lewat riset  belum mampu diatasi.
Atas dasar ini, agar tujuan UKT dapat menjadi modal UR mencapai visinya, dan juga menjadi keuntungan bagi mahasiswa, maka hal yang harus dilakukan adalah revisi secara massif lewat riset ilmiah sederhana. Pertama, dengan kerjasama antara universitas, fakultas dan jurusan.
Universitas memberikan indikator dalam setiap golongannya. Tujuannya agar adanya kemudahan dalam menetapkan antara nominal UKT dengan kemampuan ekonomi mahasiswa. Misalnya golongan 1, ditetapkan untuk mahasiwa yang orang tuanya bukan PNS, golongan 2 untuk PNS golongan 1 dan orang tua dengan gaji yang sama, golongan 3 untuk PNS golongan 2, dan seterusnya sampai golongan 5 untuk orang tua PNS golongan 4 dan dengan dengan gaji yang sama.
Universitas lalu memberikan wewenang Fakultas menetapkan nominal UKT untuk golongan 3,4, dan 5. Hal ini didasari bahwa Fakultaslah yang lebih mengetahui jumlah sebenarnya yang dibutuhkan mahasiswa, karena lebih bersinggungan langsung dengan mahasiswa yang bersangkutan. Lalu penetapan ini diinformasikan secara terbuka melalui website masing-masing Fakultas. Untuk memposisikan dimana golongan UKT mahasiswa, maka jurusanlah yang menetapkan. Dapat dilakukan dengan pengisian angket tentang UKT yang didalamnya memuat tentang pekerjaan orang tua dan jumlah nominal gaji orang tua. Â Kedua, memberikan aturan khusus bagi mahasiswa dalam mengisi angket untuk penetapan golongan UKT. Misalnya memberikan sanksi yang tegas kepada mahasiswa yang tidak jujur dalam mengisi angket. Contohnya dengan ancaman diberhetikan atau sebagainya.
 Ketiga, membuka pengaduan khusus UKT. Bisa dengan nomor HP khusus atau di situs resmi milik UR. Pengaduan ini dibatasi dengan pengaduan adanya mahasiswa yang curang dalam pengisian angket. Misalnya mahasiswa yang berada pada ekonomi yang mampu, namun mengaku ekonomi keluarganya rendah. Semua ini akan dapat terlaksana jika ada kemauan yang serius dan besar dari stakeholders universitas dan jajarannya. Jika tidak ada kemauan yang serius maka cita-cita UR menjadi universitas riset tahun 2020 hanya akan menjadi cita-cita belaka dan mahasiswa akan semakin sulit mendapatkan haknya untuk kuliah di perguruan tinggi ini. Namun saya yakin, mungkin ini hanya karena UR baru memulai untuk menjalankan kebijakan pemerintah ini, sehingga banyak bermunculan ketidaksesuaian dan resistensi yang besar. Semoga semuanya dapat segera diatasi dan nantinya UR dapat menjadi Universitas Riset yang cemerlang.#
Penulis  Shariyani mahasiswa  Ilmu Pemerintahan  FISIP UR 2011
Â