Para pejabat negara +62 begitu sumringah. Kematian lembaga antirasuah benar terjadi adanya. Sejatinya kuburan KPK memang telah dipersiapkan sejak dua tahun lalu. Ketika kekuatan trias politika di negeri ini berkelindan merevisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002.

KPK yang sudah dikuburkan itu, lantas dilenyapkan lagi. Skenario busuk menyingkirkan 75 pegawai yang rekam jejaknya telah teruji—tak pandang bulu menyikat penggarong uang negara. Firli Bahuri gunakan jurus tes wawasan kebangsaan yang telah direkayasa sebagai syarat peralihan menjadi aparatur sipil negara. Alhasil penyidik senior seperti Novel Baswedan Cs telah terdepak dengan cap berpaham radikal dan tak Pancasilais.

Permintaan sejumlah tokoh publik agar Presiden Joko Widodo ambil sikap selamatkan KPK juga tak benar-benar digubris. Jokowi hanya memainkan gimik . Ia seolah-olah berpihak pada pemberantasan korupsi. Semuanya omong kosong. Tak salah bila Badan Eksekutif Mahasiwa Universitas Indonesia memberinya julukan ‘The King of Lip Service’.

Secara gamblang Komisi Antirausah sudah tak bisa diharapkan lagi. KPK bukan lagi lembaga independen. Ia sudah masuk dalam rumpun eksekutif dengan segala konsekuensinya.

Kini saatnya mengambil jalan perlawanan. Masyarakat mesti cermat memilih pemimpin pada 2024 nanti, saat pemerintahan Jokowi berakhir. Jangan sampai tertipu untuk ketiga kalinya, memilih kucing dalam karung.

Sebanyak 74 guru besar dari berbagai bidang ilmu dan lintas kampus telah memulai perlawanan itu. Mereka berhimpun menolak hasil TWK. Langkah kecil ini hendaknya juga menginspirasi gerakan-gerakan yang lebih besar.

Namun sayang, nalar sehat para mahaguru itu tak mampu menulari sejumlah guru besar dari Bumi Lancang Kuning. Dari 74 nama, hanya Profesor Syafrinaldi yang tanpa tedeng aling-aling ikut melawan. Lantas sisanya kemana?

Berkaca pada Universitas Riau. kampus negeri ini punya 71 guru besar aktif, namun tak nampak batang hidungnya. Bila disisir hanya delapan orang saja yang berani berpendapat.

Adalah lelucon bila tak mau bersuara dengan dalih bukan bidang keilmuannya. Atau malah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Sehingga tidak mau tahu persoalan semacam ini. Padahal Riau masuk dalam zona merah rawan korupsi.

Sekali lagi ini adalah soal moral.

Benar, bukan hanya guru besar saja yang mesti berkoar-koar. Perlu upaya kolaborasi untuk memberantas korupsi atau menentang ketidakadilan seperti saat ini. Setidaknya suara para akademisi ini sangat berpengaruh dan dibutuhkan. Sebagai orang yang dianggap berpendidikan dan berilmu tinggi, pernyataannya akan sangat ditunggu-tunggu.

Mereka juga jadi panutan masyarakat. Punya tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa dan menuntun masyarakat agar bermoral dan menjauhi perilaku koruptif.

Riau punya ratusan guru besar. Jangan sampai Syafrinaldi sendirian. Mana Suaramu, Prof?