Gelombang demonstrasi besar-besaran pada 25–29 Agustus 2025 menjadi salah satu peristiwa politik paling signifikan dalam sejarah pasca reformasi. Aksi yang semula lahir dari kemarahan rakyat terhadap kebijakan tunjangan DPR, berkembang menjadi amarah kolektif yang meluas ke isu ketimpangan, kekerasan aparat, dan krisis kepercayaan publik terhadap negara. Namun di balik luapan emosi sosial tersebut, terdapat pertanyaan yang lebih kompleks, yaitu apakah demonstrasi itu benar-benar spontan, ataukah menjadi bagian dari operasi intelijen politik yang terencana untuk mengelola bahkan memanipulasi gejolak publik?
Ketegangan Sosial yang Dikelola
Secara sosiologis, kemarahan rakyat terhadap kebijakan DPR merupakan konsekuensi akumulatif dari krisis legitimasi politik. Isu “tunjangan DPR” hanyalah pemantik, bahan bakar sesungguhnya adalah ketimpangan sosial-ekonomi yang melebar, serta persepsi publik bahwa elite politik hidup dalam kemewahan di tengah penderitaan rakyat. Menurut teori relative deprivation, ketidakpuasan kolektif muncul ketika warga merasa hak atau aspirasi mereka tertahan, terutama jika ketimpangan terlihat kontras antara elite dan rakyat biasa.
Baca Juga 80 Tahun Merdeka, Mengapa Nobel Masih Jauh dari Jangkauan?
Kecepatan mobilisasi publik ke 173 kota dalam waktu kurang dari 48 jam menunjukkan adanya mekanisme distribusi informasi yang efisien, baik melalui jaringan sosial offline maupun media sosial. Fenomena ini sejalan dengan konsep opportunity structures dalam sosiologi politik, yang menekankan bahwa gerakan kolektif lebih mudah terjadi ketika ada saluran komunikasi dan celah kelemahan institusi. Dalam kajian intelijen, momen semacam ini dikenal sebagai window of agitation, saat emosi publik bisa diarahkan oleh aktor yang memahami peta psikologi sosial.
Jejak Operasi Intelijen terlihat pada Fragmentasi dan Provokasi Terkontrol
Perubahan cepat dari aksi damai menjadi rusuh di lebih dari 20 persen kota, serta munculnya kelompok tak dikenal yang memicu bentrokan, menunjukkan adanya pola controlled chaos. Fenomena serupa pernah dicatat dalam studi tentang operasi intelijen dan konflik low-intensity, di mana kekacauan dikendalikan untuk membentuk persepsi publik tertentu dan melemahkan respons institusi.
Kehadiran narasi digital seperti tuduhan “antek asing” dan kampanye media sosial oleh oknum tertentu mengindikasikan praktik psy-ops digital, yaitu penggunaan informasi untuk memecah konsensus publik, sebagaimana dijelaskan oleh studi tentang propaganda modern. Tujuannya bukan sekadar mengatur peristiwa, tetapi mengontrol makna sosial, yaitu siapa yang tampak bersalah, siapa yang heroik, dan bagaimana masyarakat memahami kekacauan.
Motif Strategisnya adalah Uji Coba Keamanan dan Pergeseran Isu Politik?
Dalam kacamata intelijen politik, operasi semacam ini memiliki beberapa motif strategis. Pertama, delegitimasi lembaga publik, terutama DPR dan kepolisian, untuk menekan mereka secara politik. Kedua, uji coba sistem keamanan sosial, di mana aparat menghadapi krisis serentak di berbagai wilayah, mirip stress test dalam literatur manajemen risiko sosial. Ketiga, pengalihan isu (displacement) dari agenda politik pusat yang ingin diredam, sebagaimana dijelaskan dalam teori agenda-setting media dan politik.
Perbedaan respons aparat di berbagai kota dari represif hingga permisif menunjukkan adanya lapisan kendali ganda, indikasi klasik dari operasi berlapis untuk menilai dinamika kepatuhan dan loyalitas unit, sebagaimana dianalisis dalam studi civil-military relations.
Perang Persepsi dan Manipulasi Opini Publik
Setelah demonstrasi mereda, dua narasi bersaing di ruang publik, yaitu narasi negara menuding provokasi eksternal, sementara kelompok sipil menuding aparat sebagai aktor kekerasan. Polarisasi ini memperlihatkan praktik perception management, yaitu manipulasi opini publik untuk mengalihkan energi warga dari substansi kebijakan ke konflik wacana. Dalam konteks media sosial, fenomena ini diperkuat oleh algoritma echo chamber yang memperkuat bias kelompok, seperti yang dibahas Putri, S. D. G., Purnomo, E. P., & Khairunissa, T. (2024).
Gerakan Otentik yang Disusupi Rekayasa Kekuasaan
Dari semua indikator, jelas bahwa demonstrasi Agustus 2025 memiliki dua wajah. Di satu sisi, ia merupakan gerakan sosial otentik, berakar pada kekecewaan rakyat. Namun eskalasinya menunjukkan campur tangan terstruktur, baik oleh jaringan politik domestik maupun unsur intelijen yang menjalankan agenda pengelolaan krisis. Sehingga gelombang demonstrasi ini bukan sekadar letupan sosial, tetapi eksperimen kekuasaan terhadap perilaku massa.
Demokrasi dalam Bayang-bayang Manipulasi
Kasus ini memperlihatkan evolusi intelijen modern dari lembaga pengumpul informasi menjadi aktor aktif dalam pembentukan opini publik. Fungsi intelijen kini meluas hingga pengelolaan emosi sosial, praktik yang bisa menekan kebebasan sipil bila tidak diimbangi mekanisme akuntabilitas. Kita hidup dalam ekosistem politik di mana batas antara gerakan rakyat dan rekayasa kekuasaan semakin kabur. Dalam ruang digital yang penuh distorsi, rakyat bisa menjadi pion dalam strategi pengendalian persepsi.
Refleksi paling mendesak bukan sekadar “siapa di balik demonstrasi?”, tetapi sejauh mana demokrasi mampu bertahan dari manipulasi yang dilakukan atas namanya sendiri.
Penulis: Ruben Cornelius Siagian, Peneliti Independen, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana Mahasiswa dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com