Teknologi digital merupakan kekuatan revolusioner yang paling signifikan dalam sejarah modern. Ia telah menghancurkan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi informasi yang sebelumnya dikuasai oleh sekelompok elit. Meskipun tampak seperti sebuah demokratisasi informasi. Pemahaman tersebut sebenarnya menipu, terutama perkembangan media sosial.
Media sosial memungkinkan individu berfungsi sebagai konsumen dan pencipta informasi sekaligus. Platform ini tidak hanya menyediakan konten berkualitas, tetapi juga menyebarkan disinformasi. Berupa informasi yang dimanipulasi untuk menyesatkan audien dari fakta yang sebenarnya.
Contoh saja dalam waktu dekat ini. Pandangan masyarakat mengenai pengungsi Rohingya sangatlah dipengaruhi arus informasi yang didapati di media sosial. Pada mulanya rasa iba dan simpati bermunculan. Lalu berubah menjadi kebencian dan ketakutan tak berdasar.
Pada saat wabah covid-19, kebiasaan masyarakat jadi lebih sering bercengkrama dengan media sosial. Informasi simpang siur mengenai covid-19 kian merebak. Beberapa diantaranya percaya bahwa wabah tersebut hanyalah konspirasi semata. Juga ketika vaksinasi covid-19.
Disinformasi tanpa disengaja ataupun disengaja dapat menjadi misinformasi. Terlebih ketika pengguna media sosial turut menyebarkannya tanpa mengetahui kebenaran fakta yang ada di dalamnya.
Digital News Report 2024 menemukan anomali terhadap pengguna TikTok, Instagram, dan Snapchat. Mereka cenderung lebih mendengarkan para influencer media sosial daripada jurnalis atau perusahaan media dalam topik berita. Ini menciptakan kelemahan dalam pengambilan keputusan informasi. influencer seringkali tidak memiliki kredibilitas yang sama dengan jurnalis dalam menyampaikan informasi.
Lebih parahnya, Digital News Report 2024 menemukan bahwa Indonesia salah satu negara paling banyak baca berita lewat TikTok. Menduduki peringkat keempat dengan persentase 29%.
Kondisi ini berpotensi menjadi celah untuk memanipulasi informasi demi agenda propaganda. Konsep propaganda dalam konteks peperangan dipopulerkan oleh Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi pada masa Hitler. Salah satu prinsip yang diterapkan Goebbels adalah mengulang kebohongan hingga diterima sebagai kebenaran.
Secara teknis, prinsip ini dilakukan dengan menyebarkan berita bohong melalui media massa sebanyak dan sesering mungkin. Goebbels menunjukkan bahwa manipulasi informasi dapat dengan efektif mengarahkan opini masyarakat, bahkan mendorong mereka untuk bertindak.
Saat ini, Manipulasi informasi tersebut diramu dalam berbagai bentuk. Mulai dari berita bohong yang relatif lebih mudah dikenali dan disanggah, hingga manipulasi video serta foto yang membutuhkan usaha lebih untuk melacaknya.
Kiat memilah berita yang beredar di media sosial
Masyarakat perlu waspada terhadap klaim palsu yang disampaikan oleh berbagai pihak. Mereka harus memperhatikan portal informasi yang diakses, termasuk identitas, afiliasi, dan narasi yang dihadirkan. Narasi yang tidak seimbang dan kalimat bernuansa tendensius bisa menjadi indikator awal konten disinformasi.
Dalam informasi berupa foto ataupun video haruslah dicermati dahulu. Masyarakat sebaiknya mencermati kejanggalan dalam foto dan menggunakan mesin pencari gambar seperti Google Images untuk memverifikasi.
Masyarakat juga harus kritis terhadap berita yang tidak mencantumkan keterangan pokok, seperti 5W + 1H, karena seringkali informasi tidak lengkap disebabkan oleh kerahasiaan ataupun agenda propaganda tertentu.
Secara umum, masyarakat perlu berhati-hati saat menerima informasi dari media sosial yang secara terbuka mendukung salah satu pihak. Karena hal ini dapat menimbulkan bias.
Bagi mereka yang tidak ingin repot memverifikasi, disarankan untuk memilih media sosial yang merupakan perpanjangan dari media massa konvensional, seperti surat kabar, televisi, atau radio yang kredibilitasnya sudah teruji.
Penulis: Afrila Yobi, Mahasiswa Agroteknologi 2021
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com