HAJATAN kenduri demokrasi lima tahunan tinggal menghitung bulan. Serunya aroma persaingan juga mulai terasa. Maklum, dua hajatan besar, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) untuk anggota legislatif –disebut juga Pileg—dan Pemilihan Langsung Presiden (Pilpres), dilaksanakan di 2014 mendatang. Jaraknya, hanya rentang beberapa bulan saja. Pileg dilangsungkan 9 April 2014, sedangkan Pilpres dilangsungkan 9 Juli 2014.

Kedua hajatan ini diprediksi berlangsung seru, karena tak hanya berebut konstituen, tapi juga berebut ruang informasi yang bisa diakses secara luas. Media mainstream, baik itu koran, radio, televisi dan online sudah jadi rebutan. Misalnya, gurita kekuatan modal Abu Rizal Bakrie, Surya Paloh dan Hary Tanoesudibjo memperebutkan penguasaan jaringan media.

Memang ada kekuatan penyeimbang, media sosial seperti facebook, twitter, dan blackberry massenger,tapi kekuatan media ini masih belum tergantikan. Alasan lain, akses media sosial belum seluas jangkauan media mainstream. Inilah kemudian kenapa para penguasa media dan politikus, mau terlibat subahat  “jahat” menguasai kendali akses jaringan media.

UNDANG-UNDANG Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan dua instrumen payung bagi produk jurnalistik, baik media cetak maupun elektronik. Melihat suasana kebatinannya, kedua UU ini lahir pasca reformasi. Wajar, jika di sana-sini masih terdapat sejumlah kelemahan.

Untuk UU Pers, pakar hukum pidana Universitas Hasanuddin Makassar, Dr H Andi Abu Ayyub Saleh, SH, MH menilai banyak kekurangan. UU ini lahir terburu-buru hanya satu tahun setelah reformasi. Pertama, di pasal 3 ayat (1) UU Pers mengatur fungsi pokok pers, yaitu fungsi informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Fungsi pokok ini selalu dikalahkan oleh fungsi tambahan, yaitu di Pasal 3 ayat (2) UU Pers, di mana pers bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Realitanya, fungsi ini yang kemudian menguat. Pers sebagai lembaga sosial kehilangan perannya. Tugas  sosial yang mengabdi pada kepentingan publik, terbentur oleh kepentingan pasar informasi dari industri media.

Kedua, pasal 10 UU Pers, mengatur perusahaan pers memberi kesejahteraan kepada jurnalis dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih. Sayang, instrumen ini hanya di atas kertas. Jarang ada perusahaan media mau mentaati ketentuan ini, dan juga tidak ada celah di UU ini yang bisa memberikan paksaan untuk ditaati.

Sedangkan di UU Penyiaran masih terdapat sejumlah persoalan. Salah satunya, dorongan kuat merevisi UU ini. Persoalannya ditenggarai kuatnya monopoli pengusaha bermodal kuat di bisnis penyiaran. Keprihatinan ini pernah dilontarkan mantan Presiden BJ Habibie. Menurutnya, perlu revisi UU Penyiaran untuk menjamin pers bebas. “Era globalisasi, informasi tidak boleh dikendalikan oleh satu kekuatan saja,” kritik Habibie.

Sudah menjadi sesuatu yang jamak. Pemusatan penguasaan penyiaran di tangan segelintir orang dan korporasi, prosesnya terus berlangsung. Persubahatan “jahat” para pengusaha media, terus menebarkan jejaringnya. Hary Tanoesudibjo, pemilik kelompok bisnis MNC (RCTI, TPI, dan Global TV) misalnya, terus melakukan penetrasi ke pusat-pusat kekuasaan.

Jangan salahkan jika suatu saat nanti, kenduri demokrasi itu hanya dimaknai sebagai pestanya orang-orang berduit. Pasalnya, domainnya informasi publik sudah digoreng-goreng jadi barang dagangan. Publik pun bingung. Sudahlah suara diperjual belikan, informasi juga  jadi barang kaplingan.

DALAM Ilmu Komunikasi, komunikasi massa didefinisikan sebagai pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Media massa sebagai alat komunikasi, bentuknya beragam. Ada media cetak seperti surat kabar, majalah, buku dan lain sebagainya. Ada pula media elektronik, seperti radio, televisi, dan online. Termasuk dalam kategori definisi media komunikasi di atas adalah film.

Seiring perkembangan teknologi informasi, media massa juga turut mengalami perkembangan yang pesat. Tak hanya media mainstream, media sosial (new media) menjadi salah satu bentuk revolusi media informasi di abad ke-21 ini. Jika dulu, komunikasi cenderung dipahami sebagai pola antar personal, tapi revolusi media informasi memperkenalkan pola komunikasi massal dan massive. Kondisi ini dicirikan sebagaimana komunikasi yang tak mengenal ruang, waktu dan batas-batas kedaulatan suatu negara.

DI TAHUN-TAHUN terakhir,  para pakar berusaha melihat masalah hubungan antara media dan politik dari berbagai sudut pandang. Begitu juga mengenai pengaruh kepentingan para politikus dalam mengatur media. Tentunya, selain faktor kepentingan politik tak  dinafikan terkait juga soal kepentingan ekonomi. Di abad ke-21, salah satu ruang bisnis yang cukup menjanjikan adalah bisnis media berbasis teknologi informasi. Sehingga ada tren, pengusaha dan politikus memilih menjalin kerja sama yang saling menguntungkan bagi keduanya.

Teori media yang menjelaskan berbagai kasus menunjukkan kondisi yang lebih beragam dan perubahaan struktur media klasik dan munculnya media modern seperti internet dan media sosial menunjukkan munculnya perubahan mendasar di bidang informasi. Dari sini dunia media membutuhkan riset mendalam yang mampu mengkaji hubungannya dengan politik dan ekonomi.

Peter Dahlgren, pakar media berkebangsaan Swedia meyakini bahwa media modern tengah mengubah politik. Karena kehidupan politik kebanyakan diliputi oleh media. Dengan kata lain, saat ini politik dikoordinasi secara kompleks oleh media. Ia menjabarkan teori seperti ini bahwa para wartawan, produser, provider internet dan politikus berada dalam satu atap dan masyarakat hanya dapat menatap mereka. Dahlgren dalam menjelaskan pandangannya ini mengatakan, dalam dunia modern saat ini, politik harus menerima logika media dan tanpa disadari politik telah mengalami perubahan fundamental.

DISISI LAIN munculnya internet, menjadi berkah tersendiri bagi perkembangan teknologi informasi. Pola konsumsi masyarakat terhadap informasi, yang dulunya dimonopoli oleh media mainstream, kini perlahan-lahan telah dikurangi oleh munculnya media sosial. Kekuatan media ini juga patut diperhitungkan. Meskipun di sana-sini masih ditemui kelemahan dalam soal akurasi, tapi kecepatan informasi yang disajikannya sungguh luar biasa.

Media sosial juga ikut mengubah pola konsumsi informasi masyarakat. Begitu pula bagi media mainstream, mereka juga harus mengubah pola dalam penyajian informasi kepada masyarakat. Banyak sejumlah informasi besar muncul kepermukaan berkat media sosial. Kemudian informasi itu ditindaklanjuti oleh media-media mainstream. Ini juga yang menandai, bahwa salah satu revolusi teknologi informasi ditandai dengan kehadiran media-media sosial. Tentunya, baik kehadiran media mainstream dan media sosial sama-sama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi yang akurat dan cepat.#

Ilham Muhammad Yasir

 

 

 

 

Penulis Ilham Muhammad Yasir, Ketua AJI Pekanbaru