“Jenis makanan apa yang dikonsumsi penulis, hingga menulis buku gila ini?”

Pertanyaan yang pertama kali muncul setelah menyelesaikan buku ini. Sudah pasti bukan rendang, karena Niccolò Machiavelli hidup di wilayah Italia tepatnya di kota Forence. Kota yang penuh dengan intrik politik dan padat konflik kepentingan. Menjadikan inspirasi utama penulisan buku Il Principe, yang berarti Sang Penguasa.

Buku yang lahir dari keterasingan Machiavelli tersusun 26 bab. Setiap babnya memiliki kepaduan yang utuh. Mulai dari jenis-jenis pemerintahan, panduan mempertahankan pemerintahan. Serta tanggapannya terhadap fenomena politik, gaya kepemimpinan ideal, hingga tata cara mendominasi suatu wilayah.

Sekilas tidak ada yang ganjil dari buku ini. Jika hanya membaca judul babnya saja. Ketika mengkaji dan memahaminya lebih dalam. Barulah mengerti alasan buku ini pernah masuk daftar buku terlarang Gereja Katolik selama 400 tahun lebih.

Wajar Benito Mussolini, Pemimpin Diktator Italia sangat mengagumi pemikiran Machiavelli. Bahkan Napoleon Bonaparte membaca, mempelajari, dan memujinya sebagai penulis yang jujur tentang kekuasaan. Masih banyak tokoh politik lainnya yang tidak mengakuinya. Namun secara terang-terangan menjalankan prinsip Il Principe.

Mengakui membaca buku ini sebagai pemimpin suatu negara. Berarti mengakui kekuasaan itu dibangun lewat tipu daya, manipulasi, dan kekerasan. Namun lebih gawat lagi, jika seorang pemimpin negara mengaku tidak suka membaca buku.

Masalah utama buku ini terletak pada reputasi moralnya. Machiavelli mengajarkan untuk memisahkan politik dari etika. Yang pada zamannya hingga kini dianggap sangat berbahaya.

Dalam buku ini, politik tidak dinilai dari baik atau buruknya. Namun dari efektif atau tidak efektifnya. Seorang pemimpin tidak harus selalu mengikuti norma moral. Tapi boleh melakukan tindakan amoral untuk mempertahankan stabilitas kekuasaannya.

Kekerasan, kekejaman, kekejian dan tipu daya, bukanlah suatu hal yang dilarang. Menurutnya itu semua merupakan alat dalam dunia politik. Il Principe hanya memberikan petunjuk kapan pemimpin harus menggunakan alat itu.

Jikalau seorang pemimpin dihadapi oleh dua pilihan, dicintai atau ditakuti. Machiavelli mengusulkan lebih baik pemimpin ditakuti daripada dicintai. Karena manusia akan membela orang yang mereka takuti, dibanding yang mereka cintai.

Rasa takut tidak pernah gagal mendisiplinkan tubuh manusia. Karenanya gunakan rasa takut manusia dengan bijak. Dalam hal ini Machiavelli memberi contoh figur historis yakni Hannibal Barca.

Dalam kepemimpinan Hannibal di Kartago, tidak pernah terjadi perselisihan diantara bawahannya. Baik pada masa kejayaannya maupun saat menghadapi masa-masa sulit. Machiavelli menilai hal ini terjadi karena kekejaman Hannibal yang melampaui batas kemanusiaan. Kekejaman itu membuatnya disegani dan dihormati. Sehingga para bawahan tidak terpikirkan lagi untuk berselisih.

“Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan; mereka akan menuntut balas dendam atas luka ringan mereka, namun mereka tidak akan dapat melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang kita sebabkan haruslah sebesar-besarnya sehingga kita tidak harus takut akan balasan mereka,” tulis Machiavelli di Bab 3.

Pada halaman 54, Machiavelli juga menulis “membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan, dan tidak memiliki agama; ke semua hal ini tidak dapat digolongkan tindakan yang bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan kekuatan, namun bukan kemuliaan.”

Banyak sekali makna gagasan yang terkesan sangat amoral di buku ini. Akibatnya banyak orang salah paham, menganggap Machiavelli merupakan sosok yang biadab, nirempati. Padahal ia hanya berusaha mendeskripsikan sifat nyata manusia secara jujur.

Machiavelli layaknya seorang dokumenter sifat manusia yang diberi kebebasan berpolitik. Sadar atau tidak, di dalam diri kita terdapat jiwa Il Principe jika diberi kebebasan tanpa batasan. Tetapi manusia selalu hipokrit atau munafik dalam hal ini. Sulit mengakui bahwa dirinya juga memiliki kerapuhan moralitas.

Tidak usah jauh-jauh membuktikan relevansi Il Principe. Contoh nyatanya perpolitikan negara tercinta yang sudah berserakan. Kita bisa melihat bagaimana seseorang berubah ketika diberi sedikit saja kekuasaan. Iman hanya dijadikan simbol negara, bukan sebagai pedoman.

Para penguasa melanggar sumpah dan janjinya, kebodohan terus dijaga. Rasa duka dijadikan alat untuk melanjutkan kekuasaan. Bahkan darah rakyat tidak lagi dihormati. Demikian, walaupun Machiavelli tidak makan rendang, tetapi banyak penganutnya dari kalangan penikmat rendang.

Jika kejujuran adalah suatu kelemahan sekaligus kelebihan. Maka buku ini berdiri diantara dua persimpangan dialektika itu. Meski tidak lagi dibungkam atau dibatasi peredarannya, gagasan yang jujur di dalam buku ini membuatnya rentan untuk dicurigai dan disalahpahami.

Disitulah letak kelebihannya, Machiavelli tidak menulis manusia harus seperti apa. Tapi menuliskan sebagaimana manusia itu. Haus kuasa, mudah berkhianat ketika aman, dan takut kehilangan. Dengan kejujuran brutal membuka sisi gelap manusia, inilah letak kekuatan utama buku ini.

Kelebihan lainnya, harga buku ini tergolong murah untuk ukuran ide yang berpengaruh lintas zaman. Serta tergolong tipis jika dibandingkan dengan besarnya efek pemikiran jika dipraktikkan. Sangat cocok untuk bacaan rakyat kecil yang jam hidupnya berbenturan dengan tuntutan kapitalisme. Namun masih ingin mengetahui realitas politik yang bekerja di sekitarnya.

Kelemahannya buku ini kerap kali menggunakan contoh historis yang konteksnya tidak dipaparkan secara langsung. Akibatnya kurang cocok untuk rakyat yang minim pengetahuan sejarah. Sudah minim pengetahuan, sejarahnya dikendalikan pula. Di samping itu, sebagai terjemahan teks Italia klasik abad ke-16, buku ini mengandung distorsi bahasa dan konteks yang menuntut pembacaan lebih teliti.

Yang paling parah dari buku ini memungkinkan potensi besar bagi pembacanya untuk menjadi bahan bakar Neraka. Tiket cepat menuju neraka, jika para pembaca memiliki otoritas kekuasaan dan menerapkan ajaran-ajaran Il Principe. Dan ini sangat mungkin terjadi.

Penulis: Muhammad Naufal Ihsan
Penyunting: Amelia Rahmadani Handayanis