Di awal pandemi, banyak hoaks bermunculan terkait pengobatan yang dapat menyembuhkan. Perlu atau tidaknya menggunakan masker, dan isu lainnnya sesuai perkembangan pengetahuan masyarakat tentang pandemi. Hal tersebut disampaikan Irma Garnesia selaku Periset Tirto.id.
Menurutnya, hoaks bisa bersumber dari mana saja. Salah satunya influencer. Banyak di antara mereka yang berbicara terkait Covid-19. Terlepas dari benar atau salah. Terkadang, informasi yang disebar menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat. Singkatnya, informasi bohong tidak hanya menjarah lingkungan nasional, melainkan di kawasan internasional.
Tahun lalu, Tim Pemeriksa Fakta Tirto.id telah memproduksi 675 konten dan 207 artikel cek fakta. Artinya, dalam seminggu terhitung tiga sampai empat artikel berhasil diproduksi.
“Ada tentang virus corona, vaksin, ada juga isu pemilihan kepala daerah, dan lainnya,” tutur Irma.
Kata Irma, perjuangan sebagai pemeriksa fakta adalah ketika seseorang telah menulis suatu artikel, namun banyak informasi keliru yang sedikit berbeda dari artikel aslinya. Â Misalnya, air kelapa dapat menyembuhkan Covid-19. Ada pula campuran teh, kopi, dan garam yang disinyalir ampuh mengobati virus jenis baru ini. Padahal, World Health Organization (WHO) tidak menganjurkan pemakaian obat tradisional rumahan untuk menyembuhkan Covid-19. Ada baiknya langsung ditangani oleh fasilitas kesehatan.
Peran pemeriksa fakta, ungkap Irma, memberi tahu bahwa informasi yang tersaji di media sosial tidak sepenuhnya benar. “Terkadang ada juga yang tidak percaya artikel yang dibuat pemeriksa fakta, menyerang si pemeriksa fakta, atau mendebatkan hal itu.”
Sepaham dengan Irma, Inggrid selaku Pemeriksa Fakta Kompas jelaskan bahwa medianya melakukan pengecekan informasi sejak 2016. Barulah pada 2018 tim pemeriksa fakta Kompas diresmikan. Lalu, tim ini bergabung dalam jaringan pemeriksa data global Internasional Fact Checking Network dan cekfakta.com.
“Pemeriksa fakta nanti akan di-submit ke dashboard-nya Facebook untuk memberikan informasi bahwa artikel itu ada kekeliruan atau kesalahan informasi dan lainnya,” jelas Inggrid.
Pada Kompas.com, terdapat label yang diberikan kepada suatu informasi jika salah atau keliru. Label hoaks diberikan ketika keseluruhan klaim dari narasi artikel tersebut salah. Sedangkan label klarifikasi diberikan jika ada yang perlu diluruskan dari artikel.
“Hoaks lama bersemi kembali, itu adalah tantangan pemeriksa fakta,” lanjut Inggrid.
Ia menilai, jurnalis juga harus bekerja keras untuk memproduksi artikel di kala pandemi. Selain itu, bertugas meluruskan berbagai informasi yang menyebar. WhatsApp menjadi salah satu aplikasi yang jadi ladang penyebaran misinformasi. Padahal, pemakainya hampir di seluruh negara.
“Tim pemeriksa fakta itu selalu pantengin grup WhatsApp ketika ia bertugas untuk melakukan pengecekan fakta,” tambahnya.
Dari 400 artikel pengecek fakta selama pandemi, sekitar 40 persen merupakan hoaks seputar virus corona. Jumlah ini terhitung sejak 2020 hingga 2021.
“WHO juga udah bilang kalau penyebaran infodemi virus corona ini sama berbahayanya dengan penyebaran virus corona itu sendiri,” tegas Inggrid.
Ia turut ceritakan bahwa misinformasi menyebar tidak hanya melalui artikel, tetapi bisa melalui foto atau video. Misalnya tersebar foto dan video seseorang yang meninggal setelah vaksinasi. Padahal, foto tersebut merupakan kejadian lain atau terjadi di tahun lalu. Oleh sebab itu, tim pengecekan fakta melakukan penelusuran digital untuk membuktikan kebenaran foto dalam artikel.
Lanjutnya, peran pemerintah dirasa penting dalam pencegahan penyebaran hoaks. Pemerintah harus mampu melakukan sosialisasi agar tidak terjadinya misinformasi yang beragam soal vaksinasi.
Inggrid lantas mengharapkan pemeriksa fakta untuk selalu menjaga kesehatan mental. Sebab, secara psikologis, akan ada sesuatu yang dapat mengganggu pemeriksa fakta. Ditambah lagi maraknya doxing.
Diskusi virtual bertema Di Balik Dapur Pemeriksaan Fakta yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga menghadirkan Digital News Producer dari Tempo, Angelina Anjar S. Kegiatan yang ditayangkan langsung melalui kanal YouTube AJI Indonesia ini diselenggarakan pada 17 Februari.
Angelina Anjar S–akrab disapa Arme katakan, WHO sempat menyebut terkait infodemi yang berdampak pada banyaknya bermunculan berita simpang siur. Paling parah, informasi palsu semakin cepat tersebar lewat media sosial.
Tantangan tersebut membuat pemeriksa fakta harus pandai menentukan skala prioritas. Alasannya, agar hoaks tidak cepat menyebar. Masyarakat sering menjadi sasaran empuk pusaran informasi bohong yang beredar.
Arme menyebutkan macam-macam hoaks. Pertama, misinformasi, terjadi saat sesorang menyebarkan hoaks tapi tidak tahu bahwa yang disebarkannya ternyata berita palsu. Kedua, disinformasi, di mana seseorang sadar bahwa yang disebarkannya merupakan hoaks, tetapi tetap menginformasikannya.
Penelitian di Kanada mencatat, hanya 25 persen responden yang bisa mengetahui apakah sebuah informasi dikatakan hoaks. Mirisnya, 35 dari 25 persen orang tersebut tetap gencar menyebarkannya.
“Kita harus tanggung jawab atas informasi yang kita sebarkan tersebut. Oleh karena itu, literasi sangat dibutuhkan,” papar Arme.
Masih kata Arme, tak jarang pemeriksa fakta kerap mendapat gangguan. Mulai dari pembulian sampai pemukulan. Padahal, tugas pemeriksa fakta hanya meluruskan hal-hal yang keliru. Tujuannya agar tidak terjadi misinformasi.
Terkadang beberapa media justru gemar membuat berita menyesatkan. Hal ini berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadapa media.
“Sampai ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa media adalah teroris. Tidak hanya media yang harus terlibat, tetapi pemerintah juga harus terlibat untuk memerangi hoaks di masa pandemi ini,” pungkas Arme.
Penulis: Hayati ramadhani putri
Editor: Firlia Nouratama