Bilyarta Arsitek dan Romo yang Humanis

YUSUF BILYARTA MANGUNWIJAYA atau Romo Mangun, dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis sekaligus pembela wong cilik. Ia lahir di Ambarawa Kabupaten Semarang 6 Mei 1929.

Bilyarta atau Mas Ta, merupakan panggilan akrab kala kanak-kanak. Ia anak sulung dari 12 bersaudara. Ayah dan ibunya berprofesi sebagai guru, bahkan beberapa pamannya juga guru. Kondisi tersebut membuat Bilyarta kecil fasih berbahasa Belanda.

Keluarganya adalah penganut Katolik yang taat. Tiap Minggu mereka selalu ke Gereja. Suatu ketika, ayahnya memberi permainan misa-misaan untuk dimainkan Bilyarta dan adik-adiknya. Melihat mereka cukup khusyuk membuat ibunya berfikir bahwa Bilyarta cocok jadi Romo—gelar yang diberi umat Katolik kepada pastor.

Mengingat situasi yang semakin buruk membuat ayahnya berfikir untuk menyekolahkan Bilyarta ke Yogyakarta. Ayahnya memberi pilihan untuk sekolah teknik listrik atau seminari—sekolah untuk pastor—namun Bilyarta saaat itu memilih sekolah teknik.

Semasa sekolah di Yogyakarta, ia bertemu dengan teman-teman yang berfikiran kritis terhadap sekitar. Ia yang sedari kecil tidak terlalu tahu kenapa harus mengusir penjajah kini paham. Ketika proklamasi dikumandangkan, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Selama di TKR, ia membantu pengamanan. Intinya menjaga kestabilan pemerintahan yang baru berdiri. Namun Bilyarta sadar bahwa banyak kebobrokan yang ia rasakan. Mulai dari perampasan paksa benda milik warga, hingga meninggalnya seorang kakek tua yang bersembunyi di ladang jagung.

Kakek itu dituduh mata-mata Nederlandsch Indie Civil Administratie. Ia dipukul, ditempeleng dan mendapat perlakuan keji lainnya. Bilyarta tak bisa membantu apa-apa, bahkan suatu malam didengarnya kakek itu merintih kehausan. Namun ia tak berani membantu, hal itulah yang akan terus membayangi kehidupannya kemudian hari.

Usai melaksanakan tugas di TKR, ia pulang ke kampung halaman. Ia mulai rutin membaca buku koleksi sang ayah, dan berniat melanjutkan sekolah arsitektur.

Bilyarta dan teman-temannya diundang menghadiri perhelatan di Alun-alun Kota Malang, menyambut kemenangan Indonesia di Konferensi Meja Bundar. Dari sini, tiba-tiba Bilyarta memantapkan dirinya untuk melanjutkan sekolah seminari. Orangtuanya bahagia mendengar pilihan itu.

Usai sekolah, resmilah panggilan Romo Mangun disandang. Setelah itu, baru ia melanjutkan cita-cita kuliah arsitektur di Institut Teknologi Bandung. Romo Mangun kemudian disarankan untuk memperdalam ilmu arsitektur di Aachen, Jerman. Setelah menyelesaikan studinya 1966, Romo Mangun menjadi pastor di Gereja Katolik St. Albertus Magnus Jetis, Yogyakarta.

Romo Mangun mulai sibuk mengurus banyak gereja. Memugar bahkan memperbaikinya.

Dua tahun berselang, diawal pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, beliau mendapat tugas sebagai dosen luar biasa bidang arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suatu ketika, Romo Mangun mendatangi Kali Code, daerah pinggiran kumuh yang merupakan sarang kejahatan, pelacuran dan sejenisnya. Niatnya menemui seseorang yang dikenal. Ia ingin membantu dan memberi kontribusi untuk pemukiman tersebut.

Pada 1980, Mangun resmi mengundurkan diri dari UGM. Pinggiran Kali Code yang cukup berantakan mampu ia sulap menjadi kawasan hunian yang sedap dipandang mata. Tak hanya menata daerah, ia juga membantu menata sifat masyarakat ke arah lebih baik lagi.

Usahanya tak berjalan mulus. Ia selalu dikejar karena terkesan menghalangi pemerintah mengubah pinggiran Kali Code jadi sabuk hijau kota. Meski begitu, pinggiran Kali Code tetap aman.

Tak hanya di Kali Code, Mangun juga membantu daerah lain dan semakin konsen dalam hal kemanusiaan. Rasa kemanusiaan yang tinggi membuatnya ingin melakukan apa saja untuk membantu masyarakat terhadap ketidakadilan.

Lengkapnya, kisah hidup Romo Mangun ditulis oleh Sergius Sutanto dalam bentuk novel. Ia menarik dibaca diwaktu luang. Susunan kalimatnya membuat isi novel seakan-akan hidup dan pembaca dibawa untuk berada pada masa-masa yang lampau. Novel ini terdiri dari enam bagian yang masing-masing bagian disusun secara runut berdasarkan kejadian dari tahun ke tahun.*Martha Novia Manullang