Judul buku : Bali Menggugat Tahun terbit : 2014
Penulis : Putu Setia
Penerbit : PT Gramedia, Jakarta Tebal halaman : ix+390 hlm; 14×21 cm
KITA sudah tiba di Bali. Lihat gapura itu,†seorang ayah menunjuk Candi Bentar besar di Dermaga Gilimanuk.
Gapura yang dimaksud sang ayah ialah Candi Bentar terbelah dua, berada disisi kiri dan kanan pintu masuk dermaga. Candi ini seperti gapura didaerah lainnya. Penanda kita tiba disuatu daerah tertentu, berupa penyambutan atau perpisahan. Candi Bentar punya ciri khas bentuk langsing, tinggi, memiliki ukiran rumit dan berwarna merah bata.
Ketika tiba di Bali, dapat dilihat adanya candi ini sebagai gerbang awal memasuki apa saja. Mulai dari masuk ke suatu pulau, kota, desa, stadion, gedung pertunjukkan, rumah ataupun kuburan.
Benarkah Candi Bentar sebagai gerbang penyambutan?
Candi Bentar ialah bangunan suci. Bagi umat Hindu, candi ini salah satu bagian dari dari pura tempat mereka beribadah. Sebagai representatif tempat bersemayamnya Dewa Siwa, kompleks pura terdiri dari tiga bangunan: Candi Bentar, Kori Agung dan Meru.
Dalam kepercayaan umat Hindu, ketiga bangunan ini simbol dari Gunung Mahameru. Gunung suci tempat bersemayamnya dewa. Candi Bentar ialah kaki gunung, Kori Agung bagian tubuh dan Meru sebagai puncak. Jika Candi Bentar merupakan bagian awal dari sebuah tempat suci, bagaimana jika ia diletakkan dihalaman sebuah rumah? Samakah artinya bahwa rumah itu merupakan Meru? Jika ia diletakkan sebelum memasuki pekuburan, berarti Meru disamakan dengan kuburankah? Bagi orang tua di Bali, ini jadi penghinaan.
Saat Drs I Gusti Agung Gde Putra menjadi Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali, ia berikan ceramah di Institut Hindu Dharma bahwa pembangunan ini sebagai salah kaprah. Candi Bentar dibangun dimana-mana serta dijadikannya dalam bentuk mini— sebagai cinderamata— melunturkan nilai magis yang terkandung. Sudah tak ada maknanya.
Akibatnya, tak banyak masyarakat yang tahu asal usul dari bangunan tersebut. Apa makna dari setiap ukiran dan kenapa Candi Bentar jadi bagian dari suatu tempat sakral.
Lain kisah Candi Bentar, lain kisah Pénjor. Ia mirip umbul-umbul terbuat dari bambu melengkung yang diujungnya digan-tungkan janur. Pénjor diletakkan didepan pura saat upacara persembahyangan atau didepan rumah setiap Hari Raya Galungan.
Pénjor merupakan bentuk ucapan syukur kepada Sang Hyang Widhi—Tuhan— yang telah menghindarkan masyarakat dari bencana, terutama kelaparan. Karena itu di Pénjor digantungkan berbagai hasil bumi. Pada pangkal janur digantungkan kelapa, ketela dan makin keatas dihiasi padi.
Namun kini wujud syukur itu telah bergeser makna menjadi pertanda disuatu tempat sedang ada keramaian. Pénjor dijumpai dimana-mana sebagai hiasan semata. Bisa dipasang ketika ada peresmian gedung, pameran, penyambutan grup turis atau ditempat yang sedang ada hajatan sunatan atau perkawinan.
Setali tiga uang, pergeseran makna juga dialami Canang Sari. Ini sesajen kecil yang dibuat dari rangkaian janur, diisi kembang, beras dan uang kepeng. Persembahan sederhana kepada Tuhan untuk memohon keselamatan.
Namun, kini Canang Sari dikomersilkan dengan mempersembahkannya kepada tamu penting ataupun turis yang baru turun dari pesawat di Bandara Ngurah rai. Lunturlah sudah nilai suci sarana keaga-maan dengan memberikan persembahan untuk Tuhan kepada manusia.
Fenomena pergeseran makna ini dituding sebagai komersialisasi sarana keagamaan di Bali. Candi Bentar bertebaran dimana-mana, Pénjor hanya sebagai sebuah pertanda bahwa sedang ada keramaian hingga Canang Sari yang diberikan pada tamu. Tudingan ini tidak salah.
PUTU SETIA. Anak Bali yang menggugat Bali. Ia sebagai putra daerah yang mengalami perubahan keadaan didaerah asalnya ini. Ia mengamati, merasakan dan menggali kembali fenomena yang terjadi. Akhirnya pada 1986 ia menuliskan apa yang ia temui didaerah asalnya ini dalam buku Menggugat Bali.
Ia menggugat perubahan yang terjadi di Bali. Mulai dari bangunan, sarana keagamaan, tradisi hingga penampilan seni. Buku Menggugat Bali pun berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi dari Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk karya non-fiksi. Buku yang diterbitkan PT Pustaka Grafiti ini dicetak ulang sebanyak dua kali dan diterjemahkan ke bahasa Jepang dan dicetak ulang sampai dua kali juga.
Itu terjadi 28 tahun lalu. Ketika Putu Setia muda tengah berkecamuk dengan perubahan yang terjadi di tanah kelahirannya. Kini kembali dipertanyakan, apakah yang terjadi seperempat abad lebih lalu itu masih terjadi di Bali? Apakah gugatan terhadap perubahan di Bali masih dilayangkan juga?
Ia pun berkeinginan untuk menelusuri kembali apa yang ia tulis 28 tahun silam. Ia kembali mengecek hal-hal yang dulunya ia kritisi. Pengecekan kembali fakta dan menghadirkannya sebagai informasi baru untuk memperbaharui bukunya. Menerbitkan kembali Menggugat Bali yang terbit pada 1986 dengan informasi baru 28 tahun kemudian. Apakah persoalan Bali masih sama seperti dulu, atau sudah berubah?
Putu Setia, 28 tahun kemudian telah berubah. Ia yang dulunya mengabdikan diri sebagai wartawan di Tempo, kini sepenuhnya mengabdi pada agamanya. Ia telah menjadi pendeta Hindu— abhiseka— dengan gelar Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Buku yang ia terbitkan pada 2014 ini juga berubah. Dulunya berjudul Menggugat Bali, kini jadi Bali Menggugat. Sayang, persoalan di Bali tetap tak berubah.
Buku ini sebenarnya adalah Menggugat Bali yang diterbitkan ulang. Dalam kata pengantarnya, Putu Setia katakan bahwa hanya terjadi perbaikan ejaan dan kesalahan pengetikan dari buku terdahulu. Namun disetiap akhir bab, ia memberikan tulisan tambahan, Bali 28 tahun kemudian. Disinilah unsur kebaharuan Bali ditemukan.
Buku ini baik dibaca bagi mereka yang hendak tahu bagaimana tradisi dan makna ritus keagamaan Bali yang sebenarnya. Putu Setia memberikan sejarah singkat dan makna dari tradisi tersebut. Kritik terhadap perubahan yang terjadi juga diberikan. Ditulis dengan menarik mengambil seorang tokoh yang berkaitan dengan topik yang ia bahas. Mulai dari kalender Bali hingga penampilan arja, teater rakyat.
Putu setia menuliskan kecemasan dan melampiaskan sekadar rasa kurang puasnya pada Bali.#