“Masing-masing negara menyiapkan ketahanan pangan akibat pandemi Covid-19, lalu bagaimana nasib negara-negara yang mengimpor beras atau masih bergantung pada beras sebagai makanan pokok?†tanya Andy F. Noya ketika membuka Gelar Wicara Pekan Sagu Nusantara.
Ia merasa isu ini menarik dibahas karena harus ada pangan sebagai alternatif makanan pokok di Indonesia. Sementara, kita masih menganggap selain beras bukanlah makanan pokok. Saat ini pangan Indonesia masih tergantung pada ketersediaan beras. Kelangkaan pangan bisa saja terjadi bila pangan lain tidak dikembangkan sebagai pasokan pangan nasional.
“Salah satu kebijakan yang diambil oleh Kementerian Pertanian (Kementan) adalah mendorong diversifikasi pangan,” sambung Heru Triwidarto selaku Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementan.
Heru menjelaskan, kebijakan yang diambil Kementan tetap memperhatikan sagu. Tak hanya pada wilayah barat (Meranti), juga sampai ke timur. Selain itu, juga ada perluasan penataan dan pengembangan produktivitas. Sebelumnya, Kementan telah menggelar kegiatan yang terkait sagu sebagai upaya kampanye meningkatkan konsumsi sagu dan menekan kebutuhan terhadap beras.
Menanggapi pernyataan Heru, Andy mengungkapkan bahwa sebagian besar lahan-lahan sagu ini berada di kawasan hutan lindung. Artinya, kawasan-kawasan yang tidak bisa diekploitasi lebih jauh untuk meningkatkan produksi sagu.
Apik Karyana selaku Sekretaris Dikjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan menyayangkan sagu yang jarang disinggung saat membahas pangan. Biasanya hanya terfokus pada padi, jagung dan kedelai. Bicara mengenai potensi, Indonesia punya 120 juta hektar hutan. Ada hutan produksi, hutan lindung, dan hutan observasi. Jika dibandingkan dengan luas hutan dan sagu, kisarannya ada 5% potensi dalam mengembangkan pangan sagu.
Apik menjelaskan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sangat mendukung program yang sifatnya mendukung ketahanan pangan. Sejak adanya Peraturan Menteri LHK Nomor 81 Tahun 2016 Tentang Kerja Sama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Medukung Ketahanan Pangan, alokasi lahan telah dilakukan dalam hal pengembangannya. Baik di Pulau Jawa, maupun di luar itu.
Sagu menjadi salah satu tanaman asli Indonesia yang dapat menjadi alternatif pangan nasional. Sagu telah menjadi pangan utama sejak jaman dahulu, khususnya untuk kawasan timur Indonesia.
Irwan Nasir selaku Bupati Kepulauan Meranti menjelaskan, daerahnya sudah mengonsumsi sagu sejak lama. Jika dilihat dari struktur perekonomian penduduk, sagu memberikan kontribusi paling besar pada Produk Domestik Regional Bruto Kepulauan Meranti. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah hanya 1,3 triliun, sedangkan omset penjualan rata-rata sagu mencapai 2,5 triliun. Sehingga, sagu menjadi penyangga utama ekonomi penduduk di sana.
“Kalau tidak ada campur tangan dari pemerintah, pengembangan sagu sebagai pangan alternatif hanya mimpi. Kalau dari sudut pandang kami, sagu bukan hanya untuk ketahanan pangan saja, tapi bisa untuk kedaulatan pangan Indonesia,” tegas Irwan.
Menurutnya, Bulog juga harus ikut turun tangan dalam pengembangan sagu. Jika tidak, ada kemungkinan untuk sampai pada titik jenuh ketika produksi sagu sudah melimpah. Pembeli yang berkurang akan memengaruhi turunnya harga sagu.
Ketahanan pangan yang kita lihat hanya satu sisi yaitu beras, kita tidak pernah melirik yang lainnya termasuk sagu. Bisa kita lihat dari tingginya produksi sagu seperti di Kepulauan Meranti, Papua, dan beberapa daerah lain.
“Kita tidak perlu takut akan kelaparan, karena Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Jika bicara pangan, semua ada. Hanya saja kita belum mengelola dan memanfaatkan semaksimal mungkin,” ujar Budi Waseso—Direktur Utama Perum Bulog.
Masih kata Budi, Bulog sudah mecoba merealisasikan pengelolaan pangan melalui kerja sama dengan pihak swasta. Misalnya memproduksi, mendistribusikan dan mengenalkan mi sagu ke seluruh Indonesia. Usaha ini dilakukan agar masyarakat tidak ketergantungan dengan mi dari gandum. Jika sagu bisa dikelola dengan baik dan dijadikan bahan dasar mi, kebutuhan impor akan berkurang dan devisa meningkat.
Tengku Rivanda Ansori selaku pendamping petani sagu katakan kandungan energi pada sagu lebih tinggi daripada jagung. Peternak di wilayah kepulauan memenuhi panganan ternak dari pabrik di pulau besar. Jika sagu dikembangkan, dapat menjadi alternatif untuk pangan ternak, setidaknya bisa memotong 30% biaya pakan.
Sagu merupakan tanaman paludikultur atau tanaman yang ramah gambut. Jika pasarnya bagus, Irwan menilai masyarakat tidak akan mengalihfungsikan lahan. Masyarakat akan lebih tertarik menanam sagu karena ada nilai ekonominya.
“Jadi, sagu ini mempunyai cerita panjang yang berkaitan dengan ternak, kesehatan, kerugian negara, dan potensi ekonomi.
Saptarining Wulan selaku Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti dan Penggiat Pangan Olahan Sagu katakan sumber daya alam dan manusia Indonesia melimpah. Begitu pula dengan teknologi, kemampuan memasak  dan niat untuk mengembangkan.
“Apabila kebijakan-kebijakan untuk makanan lokal tidak diterima oleh lidah masyarakat, ini tugas kami di hilir menjadikannya menarik dan kontemporer.â€
Pekan Sagu Nusantara digelar pada 20 Oktober via siaran langsung YouTube Perekonomian RI dengan tema Sagu Pangan Sehat untuk Indonesia Maju. Kegiatan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pangan se-dunia yang jatuh pada 16 oktober, sekaligus sebagai upaya pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Turut diikuti oleh 14 provinsi penghasil sagu seperti Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Sumatera Barat, Bangka Belitung dan Aceh.
Airlangga Hartarto meyakini ketersediaan sagu di Indonesia akan menjadi lebih baik dengan pendekatan pendidikan. “Jika ada konsumen dan anak muda yang tidak paham secara detil sagu untuk apa, kreatifitas dalam menghasilkan produk-produk sagu tidak akan terwujud,” tutup Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini.
Penulis : Nita Fiteria Ulfa
Editor: Annisa Febiola