Jurnalisme warga belakangan ini sudah tak asing. Shayne Bowman dan Chris Willis menyebut jurnalisme warga atau citizen journalism sebagai tindakan warga negara yang berperan aktif dalam proses pengumpulan melaporkan menganalisis dan menyebarkan berita serta informasi. Definisi ini mereka tulis dalam buku We Media: How Audiences are Shaping the Future of News Information 2003 silam.

Sedangkan menurut Suyanto Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Riau, jurnalisme warga adalah gaya baru dalam dunia berita dan menyampaikan peristiwa melalui media sosial. Jurnalisme jenis ini lahir akibat adanya tren yang disebut market driven journalism.

“Berarti perkembangan dari implementasi jurnalisme ini diakibatkan oleh dorongan kepentingan pasar atau kepentingan pemodal.”

Jurnalisme ini, kata Suyanto mulai berkembang di awal 2010 hingga sekarang. Era sebelumnya, jurnalisme warga sudah punya ruang di media massa. Contohnya, surat pembaca yang disiapkan media cetak. Lalu disediakan rubrik Citizen Journalism sebagai bentuk perkembangan. Di rubrik ini, publik bisa menulis dan menyampaikan berita kepada khalayak.

Suyanto juga ceritakan bahwa dahulu, ruang bagi jurnalisme warga sangat sedikit. Karena, hanya bisa dijangkau oleh media cetak, rubrik dan itu sifatnya terbatas. Di era sekarang, jurnalisme warga menjadi jurnalisme di media sosial. Pelaporan berita oleh jurnalis pun melalui media sosial.

“Ini menjadi sebuah fenomena baru bagi kita. Bagaimana mengakses media sosial oleh khalayak, sehingga kita punya peran serta dalam memberikan filterisasi, literasi,” tegasnya.

Dea Rezki Gerastri memandang jurnalisme warga sebenarnya membantu dalam penyebaran informasi. Namun, seringkali informasi yang tersebar tak layak. Sebab, penyebar informasi tak memahami aturan dalam jurnalistik. Seperti penggunaan bahasa, sampai kode etik.

“Tidak jarang, informasi yang disebarkan justru malah memperburuk keadaan,” jelas Dea yang memandu diskusi.

Suyanto percaya, jurnalisme warga dapat meningkatkan potensi loyalitas. Pun hubungan saling percaya antara media dengan pasarnya. Tak hanya itu, juga meningkatkan keaktifan masyarakat. Warga akan semakin peka dengan lingkungan sekitarnya.

Lebih jauh, ia katakan bahwa konsep berpikir jurnalisme secara luas yaitu masyarakat biasa dapat melakukan kegiatan jurnalistik. Kemudian, membuat media yang wujudnya berbasis komunitas atau individu. Untuk menjadi jurnalis, dibutuhkan hasrat atau keinginan yang kuat. Lakukan sedikit latihan dan berkeinginan menyampaikan cerita yang bagus.

Suyanto merasa, masyarakat mulai berlomba-lomba menggunggah informasi di sekitarnya. Termasuk aktivitas dalam komunitasnya. Sehingga, dalam menghadapi era jurnalisme baru ini, media harus memiliki strategi.

“Rasanya hampir setiap orang mampu membuat dan mempopulerkan kontennya sendiri. Beberapa di antaranya bahkan mampu menciptakan narasi dan berita, layaknya karya jurnalis,” ungkapnya.

Namun, peran jurnalis profesional sangat dinantikan di tengah banjirnya informasi yang bisa membuat masyarakat bingung. Terutama, ketika hoaks masih merajalela. Mau tidak mau, melibatkan jurnalisme warga dalam perusahaan media menjadi suatu ide. Hal ini sebagai cara mengekspresikan kebebasan dan kemerdekaan dalam negara demokrasi.

Cania Citta Irlanie Jurnalis Geolive juga sampaikan, efek mendapat informasi adalah keputusan setiap individu. Informasi menjadi dasar bagi orang lain dalam membuat keputusan. Kualitas berita berpengaruh kepada kualitas informasi dan keputusan masyarakat.

Cania menambahkan, kualitas berita dihasilkan dengan kemampuan berbahasa yang baik. Jika penulis tidak paham isi beritanya, pembaca lantas akan bingung.

“Kualitas bahasa didapat dari kualitas berpikir. Semua yang keluar dari dalam diri kita, lisan, omongan, adalah hasil berpikir,” pungkas Cania dalam diskusi bertajuk Jurnalisme Warga: Cerdas dalam Membagikan Informasi di Sosial Media yang digelar oleh Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Riau (05/12).

Reporter: Lia Anjelina

Editor: Firlia Nouratama