Melawan Stigma dan Diskriminasi Kusta

“Kusta, penyakit jangkitan yang tidak mudah menular dan bisa disembuhkan. Namun, bila penanganannya terlambat dapat mengakibatkan disabilitas,” ujar Fanny Rachman pada webinar bertajuk Suara untuk Indonesia Bebas Kusta: Stigma dan Mental Wellbeig pada Kusta, Selasa (23/8).

Perkembangan teknologi dan informasi, kata Fanny, menciptakan budaya baru. Sebab itu, sudah seharusnya tingkat literasi masyarakat ikut berkembang. Salah satunya literasi di bidang kesehatan. Namun, rawannya hoaks menjadi tantangan besar pada literasi kesehatan. Tentu, dengan menyediakan informasi yang absah dan jujur jadi upayanya.

Informasi salah akan berimbas terhadap respon yang salah, contohnya pada penyakit kusta. Menumbuhkan stigma di masyarakat. Banyak mitos terkait kusta. Padahal, informasi mengenai penyakitnya mudah didapatkan.

“Media diharapkan dapat memberikan informasi yang benar, efektif, dan menarik. Sehingga masyarakat dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial dan budaya tidak hanya paham, tapi juga termotivasi untuk terlibat aktif dalam penanganan kusta di Indonesia,” ungkap Fanny Rachman.

Dilanjutkan oleh Paulan Aji Communications Officer dari NLR Indonesia. Ia paparkan ada enam mitos penyakit ini. Pertama, kusta mudah menular. Meskipun penyebaran Bacterium Leprae dapat melalui udara dan kontak langsung, tapi penularannya membutuhkan waktu yang lama. Maka, penularan Kusta tidak semudah itu.

Kedua, kusta tidak bisa disembuhkan. Nyatanya, kusta dapat disembuhkan dengan obat dan penanganan tertentu. Lanjutnya, kusta disebut hanya menyerang lansia. Nyatanya, penyakitnya dapat mengenai segala usia.

Empat, kusta juga dianggap sebagai kutukan. Inilah yang memunculkan stigma bahwa kusta adalah aib. Lima, penderita harus diisolasi, sehingga tidak memiliki kehidupan sosial. Pengidapnya dianggap tidak berguna lagi.

Terakhir, kusta disebut sebagai penyakit orang miskin. Faktanya, kusta dapat menyerang siapa saja tanpa memandang status sosial seseorang.

Berangkat dari itu, Aji mendorong media dan pers mahasiswa untuk menampilkan konten inspiratif dan menghilangkan stigma kusta. Cerita dari orang yang pernah mengalami kusta pun sebaiknya menampilkan perubahan yang positif.

Dilanjutkan oleh Achmad Mutiul Alim dari Jurnas.com, ia sebut blogger dan mahasiswa dapat membantu menyebarkan informasi kusta ke wilayahnya masing-masing. Sebab, media saja tidak cukup mengkampanyekan sosialisasi ini sampai ke masyarakat.

Di sisi lain, Nadhila Beladina dari Yayasan Satu Jalan Bersama alias Kelompok Mahasiswa Peduli Kusta ceritakan pengalamannya berinteraksi dengan pengidap kusta. Baginya, berbagi pengetahuan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Sementara itu, Fanny Rachman kembali tambahkan bahwa penyandang disabilitas memiliki 22 hak yang diatur dalam pasal UU No. 8 Tahun 2016. Yaitu merangkup hak hidup, hak bebas stigma, hak privasi, dan hak keadilan.

Dilanjut hak keadilan, hak perlindungan hukum, hak pendidikan, serta hak pekerjaan. Kemudian kewirausahaan, hak koperasi, hak kesehatan, dan hak politik.

Diikuti hak keagamaan, hak keolahragaan, hak kebudayaan, hak pariwisata, juga hak kesejahteraan. Dilanjut hak sosial, hak aksebilitas, hak pelayanan publik, hak perlindungan dari bencana, dengan hak habilitasi, dan rehabilitas. Diakhiri hak konsensi beserta hak pendataan. 

Lanjutnya, jika stigma masyarakat mengenai kusta tidak dapat hilang, setidaknya dapat dikurangi. Butuh kerja keras dan kerja sama antar pers dan masyarakat. Salah satunya menyebarkan informasi yang valid tentang kusta. Hal ini akan berdampak besar akan pengidap Kusta dan keluarganya.

Kegiatan ini merupakan media gathering yang ditaja oleh NLR Indonesia yang berkolaborasi dengan Radio Kabar Berita. Dilangsungkan secara daring melalui Zoom Meeting dan Youtube.

Reporter: Nola Aulia Rahma

Editor: Najha Nabilla