Aksi Anti Kekerasan Perempuan: Perempuan Tidak Boleh Menjadi Warga Kelas Dua

Memperingati Hari ke-16 Anti Kekerasan Perempuan, Koalisi Tolak Patriarki menggelar aksi solidaritas bertema Riau Waras Gender, Lawan Patriarki. Aksi ini berlangsung di depan Kantor Gubernur Riau, Minggu (8/11). 

Aksi tersebut diisi dengan penyampaian orasi secara berkala, penandatanganan, serta cap jempol pada pohon solidaritas untuk memerangi kekerasan perempuan. Berbagai poster dan spanduk turut mewarnai aksi yang bertepatan dengan Car Free Day (CFD) itu. 

“Perempuan dan laki-laki mempunyai hak asasi manusia yang sama,” ujar Sartika Dewi dari Sahabat Puan. 

Perempuan yang akrab disapa dengan panggilan Cik Tika itu menyatakan bahwa budaya dan pemikiran patriarki masih melekat hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat dari kewajiban perempuan yang diharuskan mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci. Sedangkan laki-laki hadir untuk mengambil peran sebagai pemimpin.

“Itu dianggap sebuah kodrat,” ujarnya. Tika menegaskan bahwa kodrat dan peran itu berbeda. Kodrat adalah sesuatu yang Tuhan berikan dan tidak bisa dirubah, sedangkan peran bisa dirubah dan ditukar. 

Tika turut menyinggung soal kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Akhir-akhir ini kasus kekerasan seksual terjadi terus-menerus, katanya. 

Tika kembali merekap kasus-kasus serupa yang pernah terjadi di Riau. Seperti kasus di Universitas Riau dan Universitas Islam Riau. Kasus terbaru datang dari Universitas Hasanuddin.

“Yang seharusnya menjadi tempat pendidikan justru menjadi tempat kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan,” ucap Tika.

Sri Depi Surya Azizah, salah satu peserta aksi menambahkan data perihal kasus kekerasan perempuan. Dia menuturkan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa pada tahun 2024 terjadi 25.117 kasus kekerasan. 

Adapun rinciannya 5.497 terjadi pada laki-laki dan 21.764 terjadi pada perempuan. Kasus paling tinggi terjadi dalam lingkup keluarga atau rumah tangga, dengan kekerasan seksual sebagai kasus tertinggi dalam rentang umur 13-17 tahun.

“Hidup perempuan Indonesia! Hidup korban kekerasan! Kita berdiri di sini, berjuang bersama perempuan korban kekerasan seksual,” ujar Depi. 

Perempuan itu melanjutkan bahwa negara harus turut andil dalam memutus rantai kekerasan ini. Sudah waktunya menjalankan kebijakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. 

“Jangan larang perempuan untuk bekerja, bersuara, dan berkarya,” ujar peserta aksi,  Muhammad Rafi. Dia menyampaikan bahwa semua orang memiliki kesetaraan yang sama, mempunyai hak dan kewajiban.

Menimpali aksi yang dilakukan oleh Koalisi Tolak Patriarki, salah satu peserta dari Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim yang juga melakukan Aksi Deklarasi Anti Kekerasan Perempuan dan Anak Laila Sari Masyhur mengatakan bahwa saat ini yang mengatur fungsi reproduksi perempuan bukanlah diri mereka sendiri. Suami, tokoh agama, tokoh adat, masyarakat dan negaralah yang mengaturnya. 

“Perempuan tidak boleh menjadi warga kelas dua,” ujar Laila. Dia melanjutkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama di masyarakat. 

Laila berharap bahwa aksi ini juga dapat diterapkan di masyarakat. Peduli dengan sesama akan kesetaran konsep. 

“Kita lakukan gerakan bersama untuk memutus rantai kekerasan seksual perempuan dan anak,” tutup Tika.

Aksi ini diikuti beberapa koalisi di Riau. Ialah Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru, Forum Pers Mahasiswa, Walhi Riau, Fitrah Riau, Sahabat Puan, Kabut Riau, Formasi Disabilitas, Himpunan Wanita Disabilitas Riau, Kohati, LPESM, Gerkatin Provinsi Riau. 

Penulis : Fitriana Anggraini

Editor: Ellya Syafriani