Militerisme Menguat, Walhi Nasional: Tentara Bisa Menguasai SDA

Militerisme Menguat, Walhi Nasional: Tentara Bisa Menguasai SDA

Diskusi interaktif bahas Reformasi Sektor Keamanan bertajuk Menolak Kembalinya Militerisme, Menegakkan Supremasi Sipil. Berlangsung di Rumah Gerakan Rakyat Walhi Riau, Senin sore (28/4).

Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan tajuk yang dibahas relevan dengan situasi saat ini. Dalam konteks Sumber Daya Alam atau SDA, militerisme terus ada dan semakin kuat. Terlihat dari para tentara yang menguasai bisnis di sektor itu.

Uli menyoal pidato Presiden Prabowo pada Musyawarah Pembangunan Nasional yang mengatakan pemerintah daerah, polisi, dan tentara harus menjaga sawit. Sebab sawit adalah aset bangsa, sawit dan deforestasi juga tak punya  keterkaitan.

“Ini menjadi lucu karena tidak mengaitkannya dengan science [ilmiah],” ucap Uli. Banyak publikasi dan riset membuktikan sawit jadi salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia. Padahal Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup juga sempat mengatakan hutan rusak karena perluasan lahan untuk sawit.

Kata Uli, rezim Prabowo-Gibran akan tetap melanjutkan program-program yang berkaitan dengan eksploitasi SDA seperti perluasan sawit. Mereka juga akan bangun kerja sama antara tentara dan polisi.

Prabowo mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Ada Satuan Tugas atau Satgas dibentuk guna dukung aturan ini dan menteri pertahanan jadi salah satu dewan pembinanya, proses ini secara tak langsung melibatkan tentara. “Peraturan ini juga bisa menyasar masyarakat,” lanjut Uli.

Ada tiga problematika dalam PP tersebut yaitu melakukan penagihan denda administrasi, penguasaan kembali kawasan hutan, dan aset kawasan hutan. “Seharusnya pekerjaan ini dapat dilakukan oleh menteri teknis seperti Menteri Kehutanan,” ujarnya.

Penyamaran aktivitas ilegal dalam kawasan hutan juga jadi ancaman, dasarnya korporasi dengan masyarakat jadi konflik teritorial. Ada sekitar 20 juta hektar hutan adat yang masih diklain milik negara. “Akan ada banyak pengusiran-pengusiran atas nama penertiban kawasan,” tutupnya.

Perihal militerisme pembangunan, Perwakilan Walhi Riau, Ahlul Fadli, menyinggung Proyek Strategis Nasonal atau PSN seperti Rempang Ecocity dan Food Estate. Di Riau pada Maret ada penerbitan kawasan hutan, berlandaskan PP Nomor 5 Tahun 2025.

Kata Ahlul salah satu perusahaan BUMN, Agrinas, memiliki petinggi yang jadi pendukung Prabowo masa kampanye. “Tim sukses kemungkinan besar biasanya mendapatkan posisi sebagai komisaris atau petinggi besar di lembaga atau Badan Usaha Milik Negara [BUMN],” jelasnya. Dalam target pengurangan emisi, Riau belum siap bangun program kerja yang matang.

Presiden Ikatan Badan Eksekutif Mahasiswa Pertanian Indonesia atau IBEMPI, Khariq Anhar, menyampaikan ada 10 proyek vertikal di Universitas Riau. Di antaranya Rumah Sakit Otak, Laboratorium Bahasa, Laboratorium Terpadu, Badan Intelijen Negara atau BIN, serta Pengadilan Militer di Jalan Naga Sakti, Pekanbaru.

Khariq khawatir ini bisa mengancam independensi kampus yang bebas dari kekuasan bersenjata. Namun dengan latar belakang militer yang Prabowo punya, seolah-olah mengacu pada otoriterianisme. “Untuk saat ini mungkin belum berimplikasi secara langsung,” ucap Mahasiswa Fakultas Pertanian itu.

Reformasi menuntut militer hanya bertugas untuk menjaga pertahanan negara, bukan ikut campur urusan sipil. “Ini orde baru yang dilakukan secara perlahan-lahan,” lanjut Khariq. Menurutnya masyarakat kampus harus menolak peradilan militer dan menuntut negara menjaga kebebasan akademik.

Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Wilton Amos, menyebutkan konsep bernegara ala Abraham Lincoln. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Menurutnya ada kelemahan supremasi sipil seperti status Prabowo Subianto sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). “Tidak ada pengadilan hingga saat ini,” ucap Wilton.

Kekuatan militer itu seperti pisau bermata dua, UU TNI yang dirubah bukan untuk kepentingan masyarakat. Militerisasi tak lagi masuk ke dalam ranah yang sesuai dengan tugasnya, jelasnya. “DPR gagal memahami bahwa kontribusi masyarakat itu penting,” ujarnya. Perwakilan rakyat sering mencari cela menyudutkan masyarakat, seolah-olah tak tahu perihal undang-undang tersebut.

Riau Strategic Circle, Satya Wira Wicaksana, membahas hubungan militer dan sipil. Berangkat dari disertasi Salim Said dengan judul The Genesis of Power: Civil-Military Realtions in Indonesia During the Revolution for Independence 1945-1949, Wicak menjelaskan awal pembentukan militer di Indonesia merupakan inisiatif pemuda.

Perihal lemahya institusi sipil, ia singgung soal warisan kolonial Belanda serta transisi sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer. Menurut Satya paradigma Kembalikan TNI ke Barak! kurang bisa diterima karena militer dibentuk pemuda bukan negara. “Militer hanya di barak merupakan tradisi liberal barat,” ujarnya.

Penulis: Fitriana Anggraini
Editor: Najha Nabilla