Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum (DPM FH UR) taja Public Discussion Pekanbaru Law Club (PLC), Rabu (17/12). Bertempat di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), dengan tema Refleksi Migas di Bumi Lancang Kuning.
DPM undang Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas), PT. Sarana Pembangunan Riau (SPR), PT. EMP Bento Korinci, PT. BOB-Bumi Siak Pusako PHC (BSP), PT. Chevron Pasifik Indonesia (CPI), Duri Institute, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), STIP, Wakil Presiden Mahasiswa (Wapresma) UR, Gubernur Mahasiswa (Gubma) FH dan akademisi FH UR.
Acara dimulai pukul 09.20 dengan tilawah Al-Qur’an oleh Ilham Rijab. Dilanjutkan dengan nyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ketua Panitia, Muhammad Rido’i jelaskan diskusi ini bertujuan untuk mencari solusi apakah migas yang terdapat di Riau untuk kesejahteraan rakyat Riau atau tidak, menampung aspirasi masyarakat dan mahasiswa serta solusi terhadap polemik migas di Riau.
Dalam sambutannya, Dekan FH Dodi Haryono, SHi.,SH.,MH katakan acara ini sejalan dengan fungsi tridarma universitas yaitu pengembangan keilmuan. Menurutnya, Riau punyai peranan penting dalam pembangunan di Indonesia. Sesuai dengan amanat UUD 1945, lanjut Dodi, pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ia tegaskan migas di Riau sebagai salah satu kekayaan alam di Riau harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat indonesia khususnya Riau. Usai kata sambutan, Dodi Haryono buka diskusi publik dengan pemotongan pita.
Acara ini menggunakan konsep seperti di Indonesia Lawyer Club (ILC), dimana para pemateri duduk dibeberapa bangku yang mengitari meja berbentuk lingkaran. Moderator, dosen FH Erdiansyah, SH.,MH pimpin diskusi.
Pembukaan, moderator jelaskan sektor migas sebagai penyumbang 25 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kurun waktu 10 tahun terakhir. Pendapatan dari Januari hingga April 2014 sebesar 86 Triliun dengan target pendapatan dari sektor migas tahun 2014 sebesar 286,3 Triliun. Permasalahannya, Riau sebagai penyumbang migas terbesar di Indonesia akan tetapi pembangunan di Riau masih kurang.
Rochaddy Lubis dari SKK Migas jelaskan pihaknya dalam satuan pelaksana kegiatan usaha hulu migas menggunakan payung hukum UU No.22 tahun 2001. Namun, untuk pengaturan kontrak kerja sama diatur lebih lanjut menggunakan peraturan pemerintah. Ia katakan, kontrak kerja dengan pihak lain sebagai badan pelaksana melalui skema konsesi, kontrak karya dan kontrak bagi hasil. Selama ini lanjut Rochaddy, selalu diusahakan skema kontrak yang paling menguntungkan bagi negara. Namun, permasalahannya sering kali kontrak ini merugikan negara sehingga ia meminta para pakar hukum memikirkan skema kontrak yang paling menguntungkan negara.
Akademisi FH, Dr. Firdaus, SH.,MH analisa secara teori. Menurutnya, sesuai pasal 33 ayat 3 UUD 1945, negara menguasai SDA sebagai alat untuk kemakmuran rakyatnya. “Selama negara yang mempunyai hak menguasai belum menjalankan fungsinya untuk kemakmuran rakyat maka amanat pasal 33 ayat 3 belum tercapai,†tegasnya.
Mering Ngo dari Chevron menanggapi, Chevron telah melakukan program sosial sebagai agenda wajib. Ekonomi dan lingkungan menjadi perhatian bagi Chevron dan berupaya dalam transparansi migas.
Aktivis migas dari Duri Institute, Agung Marsudi ungkapkan kekecewaan mengenai pengelolaan migas di Riau. Ia katakan, Chevron telah menguasai migas di Indonesia kurun waktu 90 tahun sejak 1924. Sehingga ia beri kesimpulan, presiden indonesia boleh ganti, akan tetapi tanda tangan kontraknya terus berlanjut.
Untuk diketahui, seperti dilansir media online Fastnews, Di Indonesia Chevron beroperasi sejak tahun 50-an mereka beroperasi dengan nama PT. Caltex Pacific Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi Chevron Pacific Indonesia. Hubungan Chevron dengan Indonesia sudah berjalan sekitar 90 tahun. Dimulai pada tahun 1924 ketika Chevron (yang pada waktu itu bernama Socal) mengirimkan ekpedisi geologis ke pulau Sumatra. Di tahun 1944, sebuah sumur dekat desa Minas menjadi ladang oil terbesar yang ditemukan di Asia Tenggara. Produksi dimulai pada tahun 1952 setelah Indonesia merdeka. Sementara itu, PT. CPI pada september 2014 lalu mengumumkan penemuan cadangan minyak baru di Blok Rokan, lapangan Minas termasuk didalamnya dan terbesar di Asia Tenggara. Namun, PT. CPI enggan berikan data rincinya. Bila dibandingkan dengan Lapangan Minas yang memiliki cadangan minyak hampir 9 miliar barel, maka bisa jadi ladang baru tersebut mencapai lebih dari 10 miliar barel. Masa kontrak Chevron di Sumatera akan berakhir pada 8 Agustus 2021 mendatang.
Agung Marsudi menilai, Blok Rokan lebih baik dibagi empat di area Minas-Petapahan, Libo-Bekasap, Duri Steem Flood, dan Bangko-Balam agar pemerintah lebih mudah melakukan pengawasan dan mengetahui jumlah produksi tiap lapangan. Ia menyayangkan transparansi migas selama ini masih kurang. “Data-data semua dirahasiakan agar BUMD tidak bisa ekspansi,†tegas Agung.
Dalam hal ini, lanjut Agung, sosok negara kalah dengan mafia migas. Perkembangannya, akan dibentuk Tim Pemberantasan Mafia Migas yang berpusat di Riau. Namun, ia menyayangkan, justru yang menjadi mafia migas adalah oknum-oknum tertentu dari alat kelengkapan negara.
Ia berharap, dengan berakhirnya kontrak kerjasama dengan Chevron di Sumatera tanggal 8 Agustus 2021, BUMD dapat mengambil alih segala pelaksanaan disektor hulu. Sehingga, lanjut Agung Indonesia dapat kembali merebut pengelolaan minyak dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Firdaus, dari DPRD Provinsi Riau katakan, salah satu faktor kurangnya pembangunan di Riau adalah sumber daya manusianya. Ia katakan sempat berkomunikasi dengan pemerintah pusat, responnya, pemerintah pusat sering menganggarkan dana ke Riau akan tetapi tidak mampu mengelola.
Menanggapi permasalahan migas, pihaknya akan berupaya membuat payung hukum seperti peraturan daerah (Perda) mengenai pengelolaan migas oleh BUMD. Ia berharap pemerintah daerah peduli terhadap polemik migas di Riau.
Kontraktor atau badan pelaksana sektor hulu, PT. BSP katakan pihaknya dengan tegas mengatakan siap untuk merebut pengelolaan minyak dari Chevron. Seperti diketahui, PT.SPR telah berhasil mengambil alih pengelolaan minyak di Blok Langgak pada Sabtu (19/4). Karena pemerintah tidak memperpanjang kontrak dengan Chevron. Sementara itu, Blok siak lebih dahulu diambil oleh PT. BSP pada kamis (9/8) tahun 2002 juga dari Chevron.
Idil, peserta diskusi katakan banyak orang tidak mengetahui akar permasalahan di sektor hulu. Menurutnya, pemberantasan mafia migas masih terkesan setengah hati. “Ibarat menangkap seekor cicak, ekor yang kecil dapat tetapi badan cicak yang besar masih berkeliaran,†tukas Idil.
PLC merupakan program kerja dari komisi III DPM FH, menurut ketua komisi III Triandi Bimankhalid, PLC mengangkat topik yang hangat saat ini khususnya di daerah Riau. PLC rutin dilakukan sekali dalam setahun. Dalam pagelaran diskusi sebelumnya, lanjut Triandi, Komisi III mengangkat tema Legalitas Narkoba Jenis Baru pada tahun 2013 lalu. (*4)