“Saujana Pusaka adalah cerminan atau refleksi antara pusaka alam dan budaya. Harus ada manusia, jika tidak ada maka (disebut) bentang alam,” ucap Dwita Hadi Rahmi pada kuliah umum yang bertajuk Historic Urban Landscape Untuk Pelestarian Saujana Pusaka , Selasa (16/8) lalu.
Dwita katakan, Saujana Pusaka berkaitan dengan alam dan budaya manusia. Ia ambil contoh kasus, sejarah lingkungan Borobudur. Pada abad ke-12, diperkirakan adanya danau yang kemudian menyusut dan menghilang. Dan adanya desa yang masih memiliki nama yang sama, meskipun sudah berada sejak dahulu. Letaknya tak jauh dari Candi Borobudur.
Borobudur mencerminkan hubungan antara bentang lahan dan budaya. Sebagai contoh, pertanian disana masih dilakukan secara tradisional hingga sekarang.
“Buktinya ada pada relief candi (yang) menggambarkan kegiatan pertanian tradisional,” katanya dengan logat jawa.
Semua berkaitan dengan alam, kata Dwita. Masyarakat pun memiliki tradisi atau kehidupan yang berkaitan dengan alam. Seperti candi yang telah menjadi bagian masyarakat setempat. Bahkan, rumah tradisional masyarakat juga memiliki ciri khas yang tak berubah. “Bangunan arsitektur tradisional sudah ada sejak dulu.”
Danau, sungai dan panorama lainnya menjadi bingkai di kawasan Borobudur. Candi Borobudur di awan, katanya sambil tertawa. Sebab jika melihat dari atas candi, pemandangan di sekitarnya juga terlihat.
Dwita berikan contoh lain. Ia menyebut desa di Banjarmasin yang dilalui oleh sungai. Dan masyarakat yang tinggal di sepanjang tepian sungai. Sungai pun sudah menjadi mata pencaharian dan budaya turun-temurun oleh warga setempat.
Sebelum tahun 1990-an, kata Dwita, ada anggapan bahwa budaya dan alam berdiri sendiri. Namun, pada tahun 1993, UNESCO kenalkan Saujana Pusaka. Dimana, alam dan budaya merupakan hal yang sulit dipisahkan.
Saujana Pusaka sendiri memiliki keunggulan dari budaya dan alamnya yang dapat dilihat dari beberapa sisi. Berkaitan dengan ruang dan waktu. Pun dapat berubah dengan adanya penduduk, penggunaan dan pengelolaan lahan.
Lain sisi ada pula saujana yang bertahan dari warisan nenek moyang dari dulu hingga sekarang. meskipun ada sedikit perubahan yang dipengaruhi oleh teknologi.
“Pasti ada perubahan walaupun sedikit,” ujar Dwita.
Sebab itu, saujana terbagi menjadi saujana yang masih bertahan dan saujana yang fleksibel. Adanya keseimbang antara perubahan dan keterusan yang diperlukan dalam saujana. Kelestarian saujana harus bisa menerima perubahan.
Sejalan dengan materi sebelumnya, Laretna T. Adhisakti menyampaikan bahwa Indonesia merupakan mozaik Saujana Pusaka. Arsitek pun berfungsi untuk membangun konteks pelestarian pusaka yang digarap menjadi proyek-proyek pusaka.
Menurut Laretna, budaya juga dapat berperan dalam membangun ekonomi kreatif. Budaya dan ekonomi adalah dua hal yang saling bersaing. bukan hal yang berbeda.
“Pusaka Indonesia adalah pusaka alam dan pusaka budaya. Sedangkan Pusaka Saujana merupakan kesatuan antara pusaka alam dan pusaka Indonesia.” Tutur lulusan magister Universitas Kyoto Jepang ini.
Laretna jelaskan, Indonesia memiliki Gerakan Pusaka Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Pusaka Indonesia. Dan telah berlangsung dalam dua dekade. Dekade I pada tahun 1990-2003 ditandai dengan piagam pelestarian pusaka Indonesia 2003 atau dikenal sebagai Tahun Pusaka Indonesia 2003, Jaringan Warisan Budaya Indonesia .
Sedangkan dekade II, Gerakan Pusaka Indonesia pada tahun 2004-2013 bertujuan merayakan keanekaragaman pusaka atas deklarasi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Serta inti piagam pelestarian kota pusaka Indonesia pada 23 desember 2013 atau dikenal dengan Tahun Pusaka Indonesia 2013, Indonesian Network for Cities .
Lanjutnya, atas rekomendasi yang ditetapkan UNESCO, Historic Urban Landscape (HUL) merupakan wilayah perkotaan yang dipahami sebagai hasil dari sejarah bersejarah, nilai dan atribut budaya serta alam.
Lain halnya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, HUL adalah budaya tanpa ada melibatkan alam dan sejarahnya. Padahal alam dan budaya tidak dapat dipisahkan.
Himpunan akan HUL pun tidak hanya terdapat di pusat kota. Terdapat pengaruh yang berasal dari luar. Contohnya, dalam arsitektur melayu terdapat pengaruh dari provinsi Malaysia atau kepulauan yang berasal dari luar Riau. Sebab adanya hubungan yang luas seperti tata letak dan geografis.
Kata Laretna, terdapat perbedaan antara dua paradigma, yaitu Non-HUL dengan HUL. Pada Non-HUL, momen situs budaya yang tidak dapat berkembang menyesuaikan diri dengan zaman sehingga terjadi kontraproduktif. Sedangkan HUL mencakup berbagai aspek yang luas seperti lingkungan dan pusaka.
Agar HUL sesuai dengan Saujana Pusaka yang terus eksis walau perkembangan zaman kian berubah. “Dalam HUL semua disiplin ilmu yang berkaitan satu dengan yang lain dan saling berbagi seperti ilmu manajemen, ilmu ekonomi, bisnis dan sebagainya,” tutup Laretna.
Kuliah umum yang ditaja oleh Himpunan Mahasiswa Arsitektur atau HMA, bertujuan sebagai bentuk pembelajaran dan pengenalan arsitektur melayu. Diikuti oleh mahasiswa Arsitektur, yang bertempat di gedung Teknik Pulp dan Kertas, Fakultas Teknik.
Penulis : Amanda Wulandari dan Zacky Desrian Alvis
Redaktur : Denisa Nur Aulia