Ketika 12 Persen PPN Mengintai Kenaikan UKT

Khariq Anhar, Mahasiswa Agroteknologi 2020/Opini

Tahun 2024 menjadi masa penuh tekanan bagi mahasiswa baru. Isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga 200 persen memicu kecemasan hingga tangisan. Di Universitas Riau (Unri), UKT meningkat drastis dengan golongan hingga 13, dan nominal tertinggi mencapai Rp 13 juta per semester. Akibatnya, ratusan mahasiswa terancam tidak dapat melanjutkan kuliah. Hal ini disebut-sebut sebagai dampak inflasi selama satu dekade terakhir, menurut beberapa pemangku kebijakan.

Memang selama sepuluh tahun UKT di Unri tidak mengalami kenaikan, namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi kumulatif Indonesia dari 2014 hingga 2023 hanya sekitar 30,04 persen. Angka ini jelas tidak sebanding dengan lonjakan UKT yang terjadi di tahun 2024. Lantas, apakah ini hanya soal inflasi, atau ada faktor lain yang mempengaruhi?

Bayangan “madesu” alias masa depan suram semakin mencuat menjelang tahun 2025. Mulai 1 Januari 2025, kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen akan berlaku, dan 8 pungutan tarif lainnya berpotensi menambah beban hidup masyarakat. Data dari Celios memperkirakan bahwa kelompok masyarakat miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran hingga Rp 1,22 juta per tahun. Sementara itu, kelompok menengah menghadapi tambahan pengeluaran sebesar Rp 4,25 juta per tahun. Beban ini jelas mengurangi daya beli dan dapat mendorong lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan, terutama tanpa jaringan pengaman sosial yang memadai.

Bagaimana dengan mahasiswa? Kebijakan bansos tidak berlaku untuk mereka, kecuali bagi penerima beasiswa. Bagi mahasiswa perantau, beban hidup semakin berat. Di Pekanbaru, selain kenaikan PPN, setiap transaksi barang dikenai pajak tambahan, seperti biaya parkir Rp 2 ribu per toko. Barang kebutuhan sehari-hari seperti pakaian, sabun, hingga minyak pun tak luput dari kenaikan harga.

Soal UKT, ada baiknya kita memahami unit cost atau Biaya Kuliah Tunggal (BKT), yang menjadi dasar penentuan UKT. BKT merupakan total biaya kuliah per semester sebelum subsidi pemerintah, dan biasanya direvisi setiap tahun. Tahun 2024, BKT di UNRI naik menjadi Rp 13 juta, yang kemudian menjadi dasar kenaikan UKT maksimal. Apakah kenaikan ini berpengaruh pada fasilitas kampus? Sayangnya, tidak. Kenaikan atau penurunan UKT lebih berdampak pada tunjangan kinerja dosen semata.

Namun, hal yang perlu digaris bawahi adalah kenaikan UKT di UNRI bukan semata-mata karena inflasi. Kenaikan ini diduga berkaitan dengan rencana UNRI menuju status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Status ini menuntut pemasukan anggaran yang lebih besar, termasuk dari UKT, untuk menutup kekurangan anggaran yang diakibatkan tidak ada pemasukan non-UKT. Selain itu, pengalihan dana UKT ke proyek-proyek non-esensial seperti pengadaan mobil pejabat atau pembangunan taman baru turut menjadi sorotan.

Dengan kenaikan PPN yang akan mempengaruhi harga barang dan jasa, sangat mungkin UKT akan kembali naik. Meski begitu, pada demo terakhir, Rektor UNRI menyatakan, “Saya tidak akan menaikkan UKT.” Pernyataan ini layak dicamkan, mengingat keputusan akhir biasanya diumumkan pada Februari. Semoga janji tersebut bukan sekadar angin lalu.

Penulis: Khariq Anhar, Mahasiswa 2020 Agroteknologi

*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com