Yaya Nur Hidayati dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional berpendapat, Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia tak terkelola dengan baik. Perizinan sudah diberikan kepada pihak korporasi, namun masyarakat hampir tak merasakan manfaat dari pengelolaan SDA di daerahnya. Bahkan lebih parah, mereka ikut terusir dari wilayahnya.

Menilik data milik WALHI pada 2019, luas tutupan sawit nasional sekitar 16.381.959 hektar. Jumlah ini setara dengan 1,2 kali Pulau Jawa. Lahan sebanyak itu, dikatakan Yaya belum tentu dimanfaatkan dengan perizinan yang legal. Keberadaan korporasi yang jauh lebih kuat dibanding negara, adalah penyebabnya.

Hematnya, perkawinan antara elit ekonomi dan politik punya regulasi sendiri. Salah satunya mengakumulasi kekayaan para oligarki tersebut.

“Pada tahun 2020, dihasilkanlah produk Undang-Undang (UU) yang kemudian bertujuan untuk memperbesar kekayaan para oligarki. Seperti adanya UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Cipta Kerja, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, Omnibus Law, dan sebagainya,” ujar Yaya.

WALHI juga menilai, ada beberapa hal krusial yang dilewatkan ketika menelisik maraknya bencana alam di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah justru berujar bahwa cuaca ekstrem adalah penyebab utamanya. Namun sejatinya, curah hujan tinggi sebenarnya terjadi akibat pemanasan global.

Hal serupa disampaikan Arie Rompas dari Greenpeace Nasional. Ia ceritakan, pada pertengahan 1970-an, setengah dari total ekspor kayu keras tropis dunia berasal dari Kalimantan. Hal inilah yang berkaitan erat dengan deforestasi. Deforestasi merupakan aktivitas penebangan hutan dalam skala besar. Pemerintah memiliki andil besar dalam penghancuran hutan di Kalimantan. Kata Arie, Indonesia adalah satu dari sembilan negara paling terdampak perubahan iklim.

“Sebuah survei menempatkan masyarakat Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pemanasan global dipicu oleh manusia. Hal inilah yang kemudian menjadi PR kita bersama.”

Menurut Arie, akumulasi kerusakan hutan Kalimantan memengaruhi kenaikan suhu harian lokal. Berdasarkan data dari Greenpeace, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kehilangan hutan dengan jumlah lebih dari 15 persen akan mengalami penurunan curah hujan sebesar 15 persen pula.

Perwakilan Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah turut sampaikan bahwa, adanya sejumlah regulasi yang dipaksakan di tengah pandemi. Lagi-lagi, para oligarkilah yang meraup untung. Tahun lalu menjadi ajang bagi para pebisnis untuk rayakan hasil panen politik.

Bung Merah—panggilan akrabnya merasa, Pemilihan Kepala Daerah pada 2020 tak hanya memilih pemimpinnya saja. Di balik itu, ada pertukaran calon operator ekstraktif proyek gusur-tebang-keruk secara serentak. Bukti nyatanya adalah kemenangan yang terafiliasi dengan bisnis tambang.

Lanjutnya, Rancangan UU ibukota baru gencar dilakukan pemerintah. Hal ini dikhawatirkan bisa mengeruk SDA Kalimantan secara terus-menerus.

“Saat ini bisnis tambang sudah menunggangi politik dan pandemi. Narasi pemulihan 2021 ekonomi akan dipelintir dari pembangkitan ekonomi ke sektor ekstraktif. Mereka memanipulasi slogan hijau untuk mengusung jenis ekstrak baru,” jelasnya.

Terakhir, Siti Rahkma Mary dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia turut sampaikan bahwa adanya penurunan luas hutan. Mulai dari hutan primer, sekunder, dan sawah. Selain itu, semak belukar sampai area perkebunan ikut tergusur.

“Ini nggak mungkin mereka [pemerintah] bantah karena data ini mereka sendiri yang merilis,” tutup Rakhma dalam diskusi Dosa Oligarki Derita Rakyat. Diskusi virtual ini disiarkan secara langsung melalui melalui kanal YouTube Bersihkan Indonesia dan Fraksi Indonesia ID pada, Jumat (29/1).

Penulis: Novita Andrian

Editor: Firlia Nouratama