Ulas Hak-Hak Digital dan Keamanan Data Bersama Pendiri SAFEnet

Salah satu pendiri Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Anton Muhajir menggelar diskusi mengenai keamanan data. Kegiatan berlangsung di Sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Bahana Mahasiswa pada Jumat, 20 Juni 2025.

SAFEnet adalah organisasi yang  fokus pada kebebasan berekspresi, hak digital dan perlindungan terhadap pengguna internet di kawasan Asia Tenggara. SAFEnet dibentuk oleh delapan orang, termasuk Anton pada 2013 di Bali.

Maraknya kriminalisasi atas kebebasan ekspresi di internet jadi latar belakang berdirinya lembaga ini. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi panduannya. Saat itu belum ada lembaga yang secara khusus mengadvokasi korban.

“Kami berdelapan berkumpul di Bali lalu mendirikan lembaga yang mengadvokasi korban kriminalisasi karena berekspresi di internet,” ujarnya.

Seiring waktu, peran SAFEnet dalam mengadvokasi korban terhadap hak berekspresi belum cukup. Sehingga, organisasi ini memperluas perannya menjadi pembela kasus pelanggaran hak-hak digital di internet. Ada tiga hak digital menurut SAFEnet. Di antaranya hak untuk mengakses internet, hak untuk berekspresi, dan hak atas rasa aman.

“Selain mendokumentasi, kami juga advokasi kebijakan seperti kami pernah menggugat kebijakan pemerintah Indonesia mengenai pemutusan akses internet di Papua dan kami menang,” jelas Anton.

Pemerintah tidak bisa memutus akses internet semena-mena karena ada hak bagi masyarakat untuk mengakses internet. SAFEnet juga memberi peningkatan kapasitas seperti pelatihan terkait keamanan digital kepada kelompok seperti aktivis, jurnalis, masyarakat adat, dan lain-lain.

Selain itu, SAFEnet  kerap memberikan pendampingan terhadap korban serangan digital dan korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Pada tahun 2024 SAFEnet menerima 343 laporan serangan digital dan sekitar dua ribu laporan KBGO.  Masyarakat dapat melaporkannya melalui laman aduan safenet.or.id.

Bentuk serangan digital saat ini tak hanya sekadar peretasan. Tetapi juga berkembang menjadi operasi informasi. Hal ini ditemui SAFEnet saat mendampingi korban konflik sengketa lahan di Rempang. Dalam kasus ini, muncul akun-akun tiruan berisi konten yang bertentangan dengan narasi perjuangan warga.

“Mereka akan membuat akun-akun tiruan yang berisi konten bertentangan dengan apa yang sudah diperjuangkan,” ungkapnya.

Serangan digital saat ini semakin politis. Biasanya terjadi ketika aktivis dan mahasiswa melakukan aksi. Untuk meningkatkan keamanan perangkat ketika melakukan aksi, Anton menyarankan beralih aplikasi komunikasi seperti, Wire Messenger yang lebih aman karena melakukan verifikasi melalui akun email.

“Sebenarnya kalau kami menyarankan menggunakan Wire Messenger tidak berbasis nomor handphone jadi hanya pake Email,” jelas Anton.

Untuk jurnalis yang meliput aksi, Anton mengusulkan untuk mengunggah dokumentasi ke Telegram, karena bisa diakses melalui perangkat lain.

“Misalnya teman-teman lagi liputan dan chaos, peluang untuk diambil handphone itu gede, nah teman-teman bisa mendokumentasikan dan mengupload [unggah] itu ke Telegram,” ujarnya

Anton memberi arahan untuk mengecek peraturan keamanan WhatsApp. Antara lain dengan memastikan semua perangkat yang terhubung dikenali, mengaktifkan pemberitahuan keamanan, mengaktifkan verifikasi dua langkah, serta mematikan fitur pengunduh otomatis.

Pengguna ponsel sebaiknya secara berkala membersihkan media yang tidak diperlukan di dalam perangkat demi menjaga keamanan data. Sehingga, ketika terjadi pencurian ponsel, data-data penting tidak disalahgunakan.

Penulis: Aulia Hasanah dan Mutiara Ananda Rizqi
Editor: Wahyu Prayuda