Dampak Psikologis dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual

Korban kekerasan seksual banyak yang sulit menerima keadaan. Mereka merasa kejadian tersebut sebagai aib yang harus disembunyikan. Belum lagi stigma dari masyarakat. “Kamu nya aja yang salah, kenapa mau? Kenapa kamu memancingnya?” 

Terkadang pikiran seperti itu membuat mereka takut untuk mengungkapkan, belum lagi dengan rasa traumatiknya. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau (FKIP Unri), Devi Risma menjelaskan gejala yang kerap timbul pada korban pelecehan seksual pasca kejadian. Dapat berupa depresi, cemas, sedih berlarut hingga tidak dapat tidur. Jika dibiarkan korban bisa mengalami Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD. “Sesuatu yang menyakitkan dan tidak menyenangkan itu akan menimbulkan trauma,” ujarnya pada Jumat, 12 September 2025.

Devi mengatakan kemungkinan besar korban ingin mati bila pelecehan sudah sampai pada tahap pemerkosaan, bahkan hamil. Hal ini dapat merusak masa depan dan mempengaruhi dunia perkuliahannya. Ia malu untuk keluar, bertemu orang lain, hanya berdiam diri di kamar dan meratapi kejadian.

Trauma imbas dari kejadian itu masih ada. Fungsi psikologis korban terganggu dan dapat mempengaruhi fungsi kognitif lainnya. Misal dalam proses pembelajaran, ia mengalami penurunan konsentrasi dan tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik. “Apalagi masalah yang dialaminya belum selesai. Bagaimana caranya dia memikirkan tugas-tugasnya? Mereka tidak akan bisa berpikir dengan baik,” pungkasnya.

Namun, tidak jarang korban sering menutup diri. Sehingga sulit untuk mengetahui apa yang mereka alami. Tidak ada dukungan dari keluarga dan orang terdekat membuatnya semakin sulit untuk terbuka. Mereka kembali membuka luka lama jika menceritakan lagi kejadian yang sama. Korban kembali sedih, trauma, dan tertekan. “Apalagi kebanyakan manusia memiliki sifat yang suka menyebarkan informasi. Itu hanya akan membuat mereka merasa tidak nyaman,” jelas Devi.

Oleh karena itu, perlu pendampingan berkelanjutan untuk korban kekerasan seksual. Setidaknya hingga mereka dapat menerima kejadian sebagai bagian dari perjalanan hidup. Di lingkungan perguruan tinggi sendiri terdapat Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) yang akan mendampingi korban. 

Proses Pendampingan Korban

Devi bilang ada terapi kognitif untuk mengubah pola pikir korban pelecehan. Guna menghilangkan pikiran buruk, kecemasan, dan dapat mengelola emosi. Juga meyakinkan bahwa mereka tetap dapat menghadapi masa depan dengan baik. Jika korban sudah di fase butuh obat penenang, maka akan diserahkan ke psikolog demi perawatan psikis lebih lanjut.

Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mencari orang yang membuat mereka nyaman untuk bercerita. Juga meyakinkan korban bahwa mereka aman. Pun mereka dapat melapor ke pihak berwajib jika mendapatkan ancaman. Setelah itu, orang terdekat akan mendampingi untuk proses pemulihan yang ditangani oleh tenaga profesional. “Jangan disalahkan. Kita harus bisa mendukungnya. Bagaimana cara agar dia merasa aman sehingga dia mau menyembuhkan dirinya,” ujar Devi.

Proses pendampingan ini relatif. Ada beberapa korban yang memerlukan pendampingan cukup lama. Karena mungkin rasa trauma itu masih cukup kuat. Setiap orang memiliki respons yang berbeda dalam menghadapi tekanan. “Mungkin masalahnya sama pelecehan. Tetapi, selama dia masih memerlukan pendampingan akan diberikan pendampingan,” jelas Dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini itu.

Kasus pelecehan seksual semakin lama semakin banyak. Devi menyatakan awal mula kejadian seperti ini biasanya karena pergaulan. Kerap terjadi di kalangan mahasiswa. Mulai dari teman dekat, pacaran, hingga kemudian ke tahap yang lebih intim. 

“Mungkin ada sesuatu yang dipaksa. Oleh karena itu, diperlukannya kemampuan untuk menjaga diri dan berani untuk bilang kata ‘tidak’. Berkomunikasilah sewajarnya dengan lawan jenis,” ujarnya.  

Perempuan itu memperingatkan agar tidak bercanda dengan melibatkan unsur-unsur vulgar. Guna menghindari berbagai fantasi yang dapat timbul. Tidak lupa harus berani menegur dan saling mengingatkan dengan cara yang sopan.

Pewarta: Amelia Rahmadani Handayanis
Penyunting: Fitriana Anggraini