“TOLAK,”
Lima huruf itu mengoyakkan hati banyak orang, khususnya Bintang— bukan nama sebenarnya. Permohonan kasasi atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan Syafri Harto resmi ditolak. Keterangan tersebut tertulis dalam putusan Mahkamah Agung (MA), dilansir dari situs resminya, Selasa (9/8).
Bekas Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau tersebut lepas dari tuduhan perbuatan asusila terhadap mahasiswi bimbingannya. MA sendiri belum memberikan keterangan rinci terkait penolakan kasasi itu.
Sebelumnya, Syafri Harto dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Maret 2022. Saat itu, jaksa menuntutnya selama tiga tahun penjara. Namun, kemudian hakim membebaskannya.
Baca: Tak Cukup Bukti, Majelis Hakim Vonis Bebas Syafri Harto
Perwakilan Korp Mahasiswa Hubungan Internasional atau Komahi Agil Fadlan Mabruri mengaku kecewa. Kehadiran perempuan dalam formasi majelis hakim, katanya, tidak memberikan rasa keadilan bagi korban.
“Korban dibunuh lagi, keadilan ditikam berkali-kali,” ucapnya yang menjadi pendamping Bintang sejak awal.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru turut sampaikan komentarnya. Ia bilang, ketetapan itu tidak memberikan rasa keadilan bagi korban. Terlebih adanya dukungan akademisi dalam bentuk hasil kajian eksaminasi. Selain itu, ada juga Amicus Curiae dalam putusan PN Pekanbaru. Harusnya, kata Andi, hal tersebut menjadi masukkan bagi hakim agung untuk memeriksa perkara.
Andi khawatirkan putusan ini akan berdampak buruk terhadap kasus-kasus yang serupa. “Mereka akan enggan untuk melaporkan kasus yang dialami.”
Menindaklanjuti perkara tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru tancap gas adakan konsolidasi. Tujuannya menentukan langkah yang akan diambil selanjutnya. Beberapa yang hadir adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK, Komahi, dan beberapa media.
Para Hakim Agung Pengeksekusi Kasus Syafri Harto
Perkara bernomor 786 K/Pid/2022 ini diadili Ketua Majelis Sri Murwahyuni bersama dua hakim lainnya. Gazalba Saleh dan Prim Haryadi. Adanya hakim perempuan dalam persidangan sempat memberikan angin segar bagi keadilan korban. Sayangnya, ketiga hakim itu tutup mata atas perbuatan keji Syafri Harto.
Bahana menelusuri rekam jejak Sri selama mengadili banyak perkara. Ia sempat beberapa kali menjadi pembina upacara yang peringati hari Ibu di depan gedung MA Republik Indonesia. Bahkan, keputusan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dalam memilih Sri menjadi hakim, ialah pertimbangan gender. Pada 2010 silam, Sri mengantongi 46 suara dari 53 anggota komisi III.
“Ibu Sri dipilih karena keterwakilan gender di MA. Saat ini banyak hakim agung perempuan memasuki masa pensiun. Masalah gender jadi pertimbangan,” ujar Nudirman Munir yang saat itu menjadi salah satu anggota komisi III dari Partai Golkar, pada Selasa (28/09/2010) dilansir Solopos.com. Saat pengangkatannya, Sri menjadi satu-satunya hakim agung perempuan.
Sri adalah hakim agung perempuan keenam. Ia biasa menangani kasus tipikor dan narkoba. Pada kasus Deddy Saputra, Sri mengubah 18 tahun penjaranya menjadi hukuman seumur hidup. Deddy adalah tersangka kasus narkoba yang ditangkap Polda Riau dengan barang bukti berupa ganja 60 kilogram.
Tidak hanya narkoba, pada perkara korupsi, Sri adalah satu-satunya majelis jakim yang menolak lepas Sudjino Timan. Ia melakukan pencucian uang sebesar 1,2 triliun.
Berbanding balik dengan kasus kekerasan seksual, Sri memutuskan bahwa Baiq Nuril salah dengan alasan telah menyebarkan rekaman perbincangan yang dianggap mengandung unsur asusila. Baiq Nuril merupakan mantan pegawai tata usaha SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ia mengalami pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan mantan kepala sekolahnya sejak 2012.
Baiq Nuril terjerat pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik dengan dugaan menyebarkan rekaman asusila tersebut. Padahal, ia adalah korban.
Lagi, 2021 lalu Sri memvonis bersalah pada kasus pidana asusila terhadap anak di bawah umur selama lima tahun dengan denda 60 juta.
Selain Sri Mulwahyuni, ada Gazalba Saleh yang dilantik menjadi hakim pada 7 November 2017. Ia merupakan salah satu hakim yang memotong masa hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Sebelumnya, hukuman diperberat dari 5 tahun menjadi 9 tahun pada tingkat banding, lalu dipotong menjadi 5 tahun berdasarkan vonis MA ditingkat kasasi.
Alasan pengurangan masa tahanannya ialah karena Edhy dinilai bekerja baik saat menjadi menteri. Tidak hanya itu, hakim agung memuji kebijakan Edhy saat membuka keran ekspor benih lobster. Setelah pemotongan masa tahanan Edhy, rekan hakimnya Sofyan Sitompul dituding dapat liburan ke pulau Dewata bersama dengan seluruh stafnya. Tetapi, dugaannya ini langsung diklarifikasi oleh MA, bahwa rencana liburan itu telah lama direncanakan. MA juga mengelak dugaan bahwa Sofyan mentraktir seluruh stafnya.
Sedangkan pada kasus kekerasan seksual, Gazalba Saleh juga pernah memutuskan bersalah terdakwa pencabulan anak di bawah umur yang sebelumnya divonis bebas. Jaksa mengajukan kasasi ke MA, lalu dikabulkan oleh hakim agung yang salah satunya ialah Gazalba Saleh sendiri.
Pada 2021, Gazalba pernah menjadi salah satu hakim yang memutuskan sah dan menyakinkan bersalahnya Wasi’ah Binti Khamim dalam kasus tindak pidana pemerasan dengan kekerasan. Wasi’ah dihukum pidana penjara selama 6 bulan. Sidang digelar di Pengadilan Negeri Samarinda, 27 Juli 2021 silam.
Hakim selanjutnya ada Prim Haryadi. Ia menjadi satu-satunya hakim agung yang berasal dari Riau. Prim adalah mantan Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Ia kemudian diangkat menjadi Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung.
2019 lalu, Prim pernah diduga menyontek pada pelaksanaan Calon Hakim Agung. Tetapi, dugaan tersebut disangkal.
Setahun kemudian, ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Badilum MA. Ia mengeluarkan Surat Edaran No 2 tahun 2020 tentang tata Tertib Menghadiri Persidangan. Edaran ini ditolak karena dianggap menutup masyarakat ke layanan pengadilan. Pada edaran tersebut mengatur pengunjung yang akan mengambil foto, video, dan merekam persidangan harus seizin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Kemudian, edaran ini dicabut sehari setelahnya atas perintah Hatta Ali, Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Penulis: Najha Nabilla, Marchel Angelina
Editor: Andi Yulia Rahma