Asisten Staf Khusus Satgas 115, Harimuddin, jelaskan bahwa kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati di laut Indonesia disebabkan oleh illegal, unreported, dan unregulated (IUU) fishing.
IUU itu terjadi, menurutnya karena ada dua hal yang belum maksimal. Pertama masalah system deteksi, yakni sulitnya mendeteksi kejahatan yang terjadi di lautan Indonesia yang sangat luas. Hal ini karena sarana dan prasarana yang digunakan untuk mengawasi masih belum memadai.
?Laut kita diawasi oleh Angkatan Laut, Polisi, dan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia, namun fungsi mereka lebih ke pertahanan negara. Adapun terkait illegal fishing itu tugasnya Kementerian Kelautan dan Perikanan yang kapalnya sedikit,? ujar Harimuddin di acara Legal Update di Hotel Aryaduta, Pekanbaru (22/01/2019).
Permasalahan kedua ialah kapasitas penegak hukumnya yang rendah. Undang-undang perikanan yang ada bahkan tidak sinkron dengan pengalaman di lapangan. Selain itu juga ada miskonsepsi dalam melihat undang-undang, PNS di bidang perikanan menganggap UU yang ada lebih mengarah ke operasi tangkap tangan.
?Sehingga jika dihadapkan pada kasus yang terjadi sudah jauh hari, mereka kesulitan untuk menangkapnya,? tambahnya.
Untuk itu pemerintah beri solusi dengan membentuk Satgas 115 yang merupakan gabungan dari tiga instansi. Ada dari Kejaksaan Agung, Polisi air, dan TNI laut yang ada di setiap daerah.
?Ada banyak sekali modus operandi kejahatan perikanan,? kata Harimuddin. Diantaranya ialah pemalsuan dokumen, menggunakan dua bendera dan dua data, penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan tidak dilengkapi SPB atau SLO, dan memodifikasi kapal tanpa izin menteri.
Selain itu ada juga awak kapal yang menggunakan nakhoda dan ABK asing, mendaftarkan pum-boat milik asing sebagai kapal Indonesia, memalsukan dokumen kependudukan ABK, hingga mematikan transmitter kapal.
Kemudian terjadi pemindahan muatan illegal di tengah laut, ada yang memalsukan laporan logbook, LKP, dan LKU. Ada juga yang menggunakan alat tangkap terlarang, tidak bermitra dengan unit pengolahan ikan, hingga mendaratkan ikan tidak dipelabuhan pangkalan.
Modus kejahatan tak hanya di bidang perikanan, adapun kejahatan yang terjadi di laut ialah transaksi bahan bakar minyak illegal, tindak pidana imigrasi seperti penyeludupan manusia dan pemalsuan dokumen keimigrasian, tindak pidana bea cukai, korupsi, pencucian uang, tindak pidana pajak, bahkan penyelundupan narkoba.
?Temuan tersebut sudah dianalisis dan dievaluasi oleh Satgas 115 dari sebelas lokasi yakni di Batam, Tanjung Balai Karimun dan Tanjung Pinang, Sorong, Kendari, DKI Jakarta, Tegal, Pekalongan, Ambon, Ternate, Benoa, dan Bitung.?
Terkait pelanggaran perikanan dan kejahatn yang terjadi, pemerintah mulai melakukan pendekatan multi rezim hukum. Multi rezim hukum itu meliputi UU Perikanan, UU Imigrasi, UU Koservasi, UNCLOS, UU Lingkungan, UU Ketenagakerjaan, UU Perpajakan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Tindak Pidana Perdagangan orange, UU Hak Asasi Manusia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU ZEE, UU pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tujuan dari pendekatan multi rezim hukum ini ialah mengembalian kerugian negara. Selain itu diterapkannya pertanggungjawaban korporasi, menghindari peluang lolosnya pelaku kejahatan, menghindarkan dispritas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis, serta mencegah lolosnya mastermind dari suatu tindak pidana.
Harimuddin katakan, strategi penegakan hukum yang dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama pendekatan penataan, yakni untuk memastikan penegakan hukum administrasi tanpa harus menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelanggarnya.
Kedua pendekatan penjeraan melalui cara-cara pendeteksian terhadap pelanggaran. Dengan cara ini pula ditentukan pihak yang bertanggung jawab dan penjeratan hukumannya.
Penulis: Raudhatul Adhawiyah Nasution
Editor: Rizky Ramadhan