Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Riau menaja kegiatan Tunjuk Ajar Lingkungan Hidup pada Kamis, 19 Juni 2025. Acara diiringi Peluncuran dan Penayangan Perdana Film Dokumenter Ada Noda di Bajumu! dan seminar bertajuk Ekologi Politik Isu Transisi Energi di Indonesia.
Kegiatan bertujuan untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada Kamis 5 Juni lalu. Bertempat di Ruang Kampar Gedung Integrated Classroom atau Kelas Terpadu Universitas Riau, Kampus Bina Widya, Panam.
Direktur Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring memberikan kata sambutan. Perlawanan terhadap hegemoni bisa dilakukan melalui berbagai cara. Pria yang akrab disapa Boy itu bilang tak hanya melalui aksi besar, tetapi juga lewat pertanyaan-pertanyaan kritis tentang moralitas dan konsekuensi tindakan.
“Pemikiran kritis dianggap penting untuk melawan arus pemahaman yang menyesatkan di masyarakat,” ucapnya.
Film dokumenter Ada Noda di Bajumu! menguak rahasia dibalik fesyen-fesyen ternama di dunia. Banyak lahan yang dibuka untuk penanaman pohon akasia, sumber utama penghasil viscose dan pulp. Bahan yang mampu menghasilkan pakaian berkualitas tinggi. Adidas, Uniqlo, dan H&M sebagai contoh merk yang menggunakan bahan tekstil ini.
Lahan-lahan yang dibuka untuk pohon akasia kerap mengambil wilayah pertanian warga. Contohnya di Rupat dan Meranti yang ikut menyumbang kasus deforestasi hutan di Riau. Tindakan ini mengganggu kehidupan banyak satwa liar. Berujung pada meningkatnya konflik antara warga dan hewan.
Direktur Paradigma, Riko Kurniawan menyatakan kepastian penggunaan bahan baku yang bersumber dari lahan legal dan legitimate menjadi salah satu tantangan bagi sektor industri. Legal artinya sesuai dengan aturan dan kebijakan yang berlaku. Sedangkan legitimate berarti izin dan kebijakan perusahaan dapat diterima oleh semua pihak.
“Sektor Hutan Tanaman Industri [HTI] masih membutuhkan pulp dan paper, ditambah lagi kebutuhan untuk menghasilkan bahan baku pakaian,” ujar Riko.
Setelah diskusi soal Film Dokumenter buatan Walhi Riau, kegiatan dilanjutkan dengan seminar. Boy menjelaskan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil menyebabkan emisi karbon. Terdapat dua tahap utama, di antaranya proses ekstraksi dan pembakaran.
“Sudah saatnya Indonesia mempercepat transisi menuju energi bersih yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga adil bagi seluruh lapisan masyarakat,” ucapnya.
Negara-negara kaya seperti Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi penghasil emisi terbesar di dunia. Ironisnya mereka justru jarang merasakan dampak langsung dari perubahan iklim. “Justru negara berkembang dan masyarakat lokal yang paling merasakannya,” lanjut Boy.
Guru Besar Sosiologi Universitas Riau, Yusmar Yusuf membahas peran manusia sebagai khalifah di bumi dalam perspektif kebudayaan dan spiritualitas lingkungan. Menurutnya, manusia memiliki tanggung jawab tak hanya sebagai pengguna. Namun juga sebagai pencipta dan penjaga kehidupan.
“Sering kali kita hanya menjadi cheerleaders [penyemangat], tetapi tidak ikut bertanggung jawab menjaga bumi. Padahal mandat penciptaan itu nyata, dan tugas kita adalah merawat ciptaan,” ujar Yusuf.
Ia memperkenalkan istilah pramekabolik. Ruang kehidupan yang dianggap sebagai Ibu Penggerak dari keberlangsungan hidup. Ia mengajak generasi muda untuk menghidupkan kembali akar budaya dan koneksi spiritual dengan alam.
“Narasi global yang selama ini berakar pada ekonomi eksploitatif perlu diimbangi dengan narasi keberlanjutan,” ucapnya.
Menyoroti ketimpangan sosial dalam konsumsi energi, Dosen Antropologi Universitas Indonesia, Suraya A. Afiff menyatakan kelompok masyarakat kaya menyumbang emisi lebih besar melalui gaya hidup mewah. Sementara kelompok miskin yang kontribusi emisinya sangat kecil justru menjadi pihak paling terdampak.
“Distribusi kekayaan di Indonesia sangat timpang. Kelompok miskin hanya sedikit menerima manfaat dari pembangunan yang merusak lingkungan,” ujarnya.
Suraya bilang ada korelasi antara tingkat kesejahteraan dengan kontribusi emisi karbon. Kelompok mampu lebih banyak mendapat subsidi dibanding kelompok miskin. Satu persen orang terkaya menguasai sebagian besar sumber daya. Mereka menjadi kontributor terbesar terhadap krisis iklim, tutup Suraya.
Penulis: Febrina Cahya Kamila
Editor: Fitriana Anggraini